Kasus Pemalsuan Dokumen Tanah 30 Hektare di Lampung Berlarut-larut, KPA Angkat Bicara Praktek Mafia Tanah

Kasus Pemalsuan Dokumen Tanah 30 Hektare di Lampung Berlarut-larut, KPA Angkat Bicara Praktek Mafia Tanah

Direktur Eksekutif Lokataru Foundation dan juga Sekretaris Majelis Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin--

BANDAR LAMPUNG, FIN.CO.ID - Sarimewati yang tengah memperjuangkan tanahnya seluas 30 hektare di Lampung yang dikuasai oleh orang lain mendapat perhatian Direktur Eksekutif Lokataru Foundation dan juga Sekretaris Majelis Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin.

Menurutnya, dalam kasus ini Sarimewati dapat dipastikan adalah korban praktik Mafia Tanah yang dengan sengaja memalsukan dokumen Akta Jual Beli (AJB) menjadi SKJB yang tidak memiliki runutan warkah nya. Tujuannya, tanah bisa berpindah dari pemiliknya yang sah dan bahkan sekarang dikuasai dan dimanfaatkan oleh orang lain.

“Besar kemungkinan mangkraknya kasus ini adalah permainan antara pihak-pihak yang memanfaatkan tanah tersebut sehingga dengan status seolah-olah dalam keadaan sengketa dan mereka dapat terus saja memanfaatkan tanah. Saya khawatir ada motif ekonomi yang sangat besar sehingga kasus ini tidak dapat diselesaikan secara tuntas dan terus menggantung meskipun terdapat tindak pidana pemalsuan AJB,” terang Iwan.

Sebagaimana diketahui, kasus ini mencuat ketika Sarimewati melaporkan aksi penyerobotan lahan pada 2016 ke Polda Lampung. AN selaku terlapor karena masuk lahan di Wilayah Lematang, Tanjung Bintang, Kabupaten Lampung Selatan, tanpa izin dengan melakukan pengerukan tanah secara besar besarandan tidak memiliki ijin galian. Belakangan, tanah yang dikeruk itu disewakan dan dikerjakan oleh orang lain dan termasuk Tersangka AN sendiri.

Atas laporan ini, AN telah ditetapkan sebagai Tersangka. Namun AN tidak ditahan oleh pihak terkait dengan alasan belum lengkap bukti perkara. Bukti yang dimaksud adalah bukti dugaan pemalsuan surat-surat. Saat ini, bukti kepemilikan lahan atas nama Sarimewati dikuasai AN yang merupakan terlapor sekaligus adik iparnya. AN menikah dengan adik kandung Sarimewati yang telah meninggal pada 2018.

Sarimewati mempercayakan surat kepemilikan tanah kepada adiknya karena tinggal di Lampung sementara dia tinggal Jakarta. Dia percayakan AN untuk menjaga lahan. Namun belakangan ini dokumen AJB dipalsukan. Diganti menjadi milik AN berupa 12 SKJB. (surat keterangan jual beli tanah) saja yang tidak ada runutan warkah nya dan tidak terdaftar di instansi mana pun.

AN dipolisikan memalsukan surat kepemilikan lahan karena Sarimewati juga memegang foto kopi legalisir yg di sahkan oleh kecamatan dan tercatat warkah nya di kelurahan maupun di kecamatan. kepemilikan lahan seluas 30 hektare tersebut. Namun oleh pihak penyidik dan kejaksaan berkas ditolak karena butuh bukti surat ke 12 SKJB asli yang di duga palsu yang ada pada tersangka. Untuk dibuktikan dugaan pemalsuan nya. Dengan maksud lain bisa dengan uji labkrim. Untuk mengetahui rentang waktu dibuatnya surat yang diduga palsu tersebut (SKJB) yang ada d tangan tersangka. yang perkara ini sampai saat ini sudah P2O atau pemberitahuan bahwa waktu penyidikan telah habis.

Iwan menegaskan, pemalsuan AJB yang dilakukan oleh tersangka jika tidak ditemukan sebenarnya bisa dilacak kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang menjalankan AJB tersebut. Apabila AJB tersebut telah diikuti dengan peralihan menjadi sertifikat baru di atas sebagian atau seluruh tanah Sarimewati, hal tersebut bisa dicek di warkah tanah di BPN-RI Kabupaten setempat. Dalam rangka penyidikan kepolisian dapat meminta salinan warkah tersebut dan di dalamnya terdapat AJB. 

“Namun apabila belum ada balik nama, dan ibu Sarimewati tidak memiliki sertifikat asli yang ia pegang, dengan dasar foto kopi sertifikat lama, identitas diri dan surat kehilangan sebenarnya BPN dapat mengganti sertifikat tersebut,” jelas Iwan.

Dengan konstruksi yang demikian, lanjut Iawan, lambannya kepolisian meneruskan perkara ini karena dianggap oleh pihak kejaksaan belum lengkap maka untuk melengkapi bukti tersebut dapat melakukan langkah-langkah tersebut. “Saya kira kepolisian kita sangat memahami dan lebih tahu soal-soal semacam ini, keengganan polisi menemukan bukti surat kepemilikan yang asli (sah) bisa jadi dikarenakan belum berkoordinasi dengan pihak BPN-RI,” tegasnya.

Iwan menegaskan bawah kepemilikan adalah Hak Asasi Manusia (HAM) yang paling dasar sejajar dengan Hak Hidup yang tertuang dalam konstitusi. Negara, melalui aparatnya bertanggung jawab sepenuhnya untuk melindungi kepemilikan warga negara Indonesia.

“Saya prihatin jika kasus ini bisa sampai mangkrak hingga tujuh tahun. Sebab dalam tujuh tahun tersebut kerugian yang diakibatkan oleh pemanfaatan tanah oleh orang atau pihak lain yang dimiliki secara sah oleh Sarimewati tentu sangat besar,” ucapnya.

Sementara itu, kuasa hukum Sarimewati, Marwan menjelaskan, status tersangka yang melekat pada AN diputus pada 2020. Marwan berharap kedepan Penyidik Subdit II Ditreskrimum Polda Lampung ini bisa melakukan upaya paksa kepada tersangka AN.

“Upaya paksa itu untuk mendapatkan barang bukti yang secara jelas mengakui bahwa barang bukti yg dimaksud ada pada tersangka. kalau barang bukti tidak mau diserahkan oleh tersangka. Apa itu? Upaya badan bisa dilakukan Polda Lampung. Dan Polda lebih tahu ketika seseorang Tersangka tidak kooperatif bisa dilakukan upaya paksa badan.kok kenapa itu tidak bisa dilakukan oleh Polda Lampung. Ada apa? Dan itu menjadi tanda tanya besar untuk kami,” jelas Marwan.

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


Sahroni

Tentang Penulis

Sumber: