Denny JA: Evaluator Kecurangan Pemilu Sebaiknya Akademisi, Jangan Politisi

Denny JA: Evaluator Kecurangan Pemilu Sebaiknya Akademisi, Jangan Politisi

Denny JA: Evaluator Kecurangan Pemilu Sebaiknya Akademisi, Jangan Politisi --

Untuk kasus Indonesia, bahkan sejak Pilpres 2024, pihak yang kalah pilpres selalu menyatakan pilpres berlangsung dengan curang. Tak ada pilpres di Indonesia sejak 2004, tanpa isu pemilu curang.

Namun ketika datang era pembuktian curang di pengadilan, di Mahkamah Konstitusi, pihak yang menuduh curang gagal membuktikannya. 

Sejak Pilpres 2004, walau hasil KPU selalu digugat, hasil KPU itu pula yang dikokohkah kembali oleh Mahkamah Konstitusi.

Kita sudah mempunyai jadwalnya. Paling telat tanggal 20 Maret 2024, KPU akan mengumumkan hasil perhitungan pilpres 2024. Prabowo- Gibran akan diumumkan menang satu putaran, di angka sekitar 58%. 

“Mengapa saya tahu hasil akhir KPU,” tanya Denny. “Pengalaman saya sendiri sudah lima kali ikut intens dalam pilpres, hasil KPU tak akan beda dengan hasil Quick Count LSI Denny JA. Selisihnya paling jauh hanya 0,5 %- 1 % saja.”

Yang kalah hampir pasti kembali menggugat hasil KPU ke MK. Begitulah tradisi politik Indonesia sejak era reformasi.  Tapi di MK, yang mengklaim curang itu gagal membuktikannya.

Sederhana saja alasannya. Hasil KPU nanti bahwa Prabowo menang satu putaran hanya bisa dibatalkan oleh keajaiban. Mengapa?  HANYA jika pihak yang menggugat dapat membawa bukti yang tak terbantahkan sebanyak sekitar 13 juta- 20 juta suara coblosan suara ke Prabowo- Gibran yang salah.

Dari mana datang angka 13 juta- 18 juta suara itu? Ini matematikanya. Kemenangan Prabowo- Gibran  akan diturunkan dari menang satu putaran ke menang saja tapi dua putaran.

Berarti kemenangan Prabowo-Gibran harus dibuktikan kurang dari 50 persen. Karena nanti KPU mengumumkan Prabowo-Gibran menang sekitar 58 persen, maka perlu dibuktikan sekitar 9 persen suara Prabowo- Gibran itu salah atau tidak sah.

Itu artinya dibutuhkan pembuktian sebanyak 9 persen x 204 juta pemilih (dikurangi Golput) itu sama dengan 13 juta- 18 juta suara. Dimana mencari pembuktian sebanyak itu. Jauh lebih sulit lagi jika kecurangan yang ada, jikapun ada, memang tak sebanyak itu. 

Menurut Denny, isu kecurangan pemilu perlu diletakkan secara proporsional. Pasti ada kecurangan. Dan kecurangan itu dilakukan oleh setiap kubu yang bertarung.

Untuk kepentingan hidup bernegara,  apapun kecurangan itu perlu didokumentasi untuk perbaikan ke depan. Demokrasi selalu memerlukan proses penyempurnaan dan pematangan.

Tapi saya berpandangan. Guna mengevaluasi pemilu curang itu secara obyektif dan tidak bias, SOLUSINYA bukan hak angket!  solusinya adalah kajian akademis.

Bukan hanya pilpres yang perlu dievaluasi, tapi juga pileg. Evaluatornya jangan politisi, partai politik, atau DPR, yang bias karena kepentingan politiknya, tapi peneliti, akademisi, yang kredibel, yang berada di kampus dan lembaga riset.

Hasil kajian akademis atas kecurangan yang terjadi dijadikan bahan untuk perbaikan dan penyempurnaan Undang- Undang Pemilu ataupun Undang- Undang Presiden.

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


Khanif Lutfi

Tentang Penulis

Sumber: