7 Amalan Utama Idulfitri Sesuai Sunnah Rasulullah SAW

7 Amalan Utama Idulfitri Sesuai Sunnah Rasulullah SAW

Ilustrasi Sholat Idul Fitri--pinterest

BACA JUGA:H-7 Hingga H-2 Hari Raya Idulfitri 1444 H, Jasa Marga Catat 1.2 Juta Kendaraan Meninggalkan Jabotabek

4. Salat Idul Fitri

Rasulullah menunaikan shalat Idul Fitri bersama dengan keluarga dan sahabat-sahabatnya, baik laki-laki, perempuan, atau pun anak-anak. Rasulullah memilih rute jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang dari tempat dilangsungkannya shalat Idul Fitri.

Rasulullah juga mengakhirkan pelaksanaan shalat Idul Fitri, biasanya pada saat matahari sudah setinggi tombak atau sekitar dua meter. Hal ini dimaksudkan agar umat Islam memiliki waktu yang cukup untuk menunaikan zakat fitrah.

5. Mendatangi tempat keramaian

Suatu ketika saat hari raya Idul Fitri, Rasulullah menemani Aisyah mendatangi sebuah pertunjukan atraksi tombak dan tameng. Bahkan saking asyiknya, sebagaimana hadist riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim, Aisyah sampai menjengukkan (memunculkan) kepala di atas bahu Rasulullah sehingga dia bisa menyaksikan permainan itu dari atas bahu Rasulullah dengan puas.

6. Mengunjungi rumah sahabat

Tradisi silaturahim saling mengunjungi saat hari raya Idul Fitri sudah ada sejak zaman Rasulullah. Ketika Idul Fitri tiba, Rasulullah mengunjungi rumah para sahabatnya. Begitu pun para sahabatnya. Pada kesempatan ini, Rasulullah dan sahabatnya saling mendoakan kebaikan satu sama lain. Sama seperti yang dilakukan umat Islam saat ini. Datang ke tempat sanak famili dengan saling mendoakan.

7. Tahniah (memberi ucapan selamat)

Hari raya adalah hari yang penuh dengan kegembiraan. Karena itu, dianjurkan untuk saling memberikan selamat atas kebahagiaan yang diraih saat hari raya. Di antara dalil kesunnahannya adalah beberapa hadits yang disampaikan al-Imam al-Baihaqi, beliau dalam kitab Sunannya menginventarisir beberapa hadits dan ucapan para sahabat tentang tradisi ucapan selamat di hari raya.

Meski tergolong lemah sanadnya, namun rangkaian beberapa dalil tersebut dapat dibuat pijakan untuk persoalan ucapan hari raya yang berkaitan dengan keutamaan amal ini. Argumen lainnya adalah dalil-dalil umum mengenai anjuran bersyukur saat mendapat nikmat atau terhindari dari mara bahaya, seperti disyariatkannya sujud syukur.

Demikian pula riwayat al-Bukhari dan Muslim tentang kisah taubatnya Ka’ab bin Malik setelah beliau absen dari perang Tabuk, Talhah bin Ubaidillah memberinya ucapan selamat begitu mendengar pertaubatnya diterima. Ucapan selamat itu dilakukan dihadapan Nabi dan beliau tidak mengingkarinya. Tidak ada aturan baku mengenai redaksi ucapan selamat ini. Salah satu contohnya “taqabbala allâhu minnâ wa minkum”, “kullu ‘âmin wa antum bi khair”, “selamat hari raya Idul Fitri”, “minal aidin wa al-faizin”, “mohon maaf lahir batin”, dan lain sebagainya.

Pada prinsipnya, setiap kata yang ditradisikan sebagai ucapan selamat dalam momen hari raya, maka sudah bisa mendapatkan kesunnahan tahniah ini. Bahkan, Syekh Ali Syibramalisi menegaskan tahniah juga bisa diwujudkan dalam bentuk saling bersalam-salaman. Karena itu, sangat tidak tepat klaim dari sebagian kalangan bahwa ucapan selamat hari raya yang berkembang di Indonesia tidak memiliki dasar dalil agama. Berkaitan dengan ihwal tahniah ini, Syekh Abdul Hamid al-Syarwani menegaskan:

 

ـ (خَاتِمَةٌ) قَالَ الْقَمُولِيُّ لَمْ أَرَ لِأَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِنَا كَلَامًا فِي التَّهْنِئَةِ بِالْعِيدِ وَالْأَعْوَامِ وَالْأَشْهُرِ كَمَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ لَكِنْ نَقَلَ الْحَافِظُ الْمُنْذِرِيُّ عَنْ الْحَافِظِ الْمَقْدِسِيَّ أَنَّهُ أَجَابَ عَنْ ذَلِكَ بِأَنَّ النَّاسَ لَمْ يَزَالُوا مُخْتَلِفِينَ فِيهِ وَاَلَّذِي أَرَاهُ مُبَاحٌ لَا سُنَّةَ فِيهِ وَلَا بِدْعَةَ

 

“Sebuah penutup. Al-Qamuli berkata, aku tidak melihat dari para Ashab (ulama Syafi’iyah) berkomentar tentang ucapan selamat hari raya, beberapa tahun dan bulan tertentu seperti yang dilakukan banyak orang. Tetapi al-Hafizh al-Mundziri mengutip dari al-Hafizh al Maqdisi bahwa beliau menjawab masalah tersebut bahwa orang-orang senantiasa berbeda pendapat di dalamnya. Pendapatku, hal tersebut hukumnya mubah, tidak sunnah, tidak bid’ah.”

 

وَأَجَابَ الشِّهَابُ ابْنُ حَجَرٍ بَعْدَ اطِّلَاعِهِ عَلَى ذَلِكَ بِأَنَّهَا مَشْرُوعَةٌ وَاحْتَجَّ لَهُ بِأَنَّ الْبَيْهَقِيَّ عَقَدَ لِذَلِكَ بَابًا فَقَالَ بَابُ مَا رُوِيَ فِي قَوْلِ النَّاسِ بَعْضِهِمْ لِبَعْضٍ فِي الْعِيدِ تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ وَسَاقَ مَا ذَكَرَهُ مِنْ أَخْبَارٍ وَآثَارٍ ضَعِيفَةٍ لَكِنَّ مَجْمُوعَهَا يُحْتَجُّ بِهِ فِي مِثْلِ ذَلِكَ

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


Khanif Lutfi

Tentang Penulis

Sumber: kemenag