Rekonstruksi RUU PPSK dalam Menjamin Kemurnian Jati Diri Koperasi

Rekonstruksi RUU PPSK dalam Menjamin Kemurnian Jati Diri Koperasi

Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki memberikan kata sambutan saat pembukaan seminar pemberdayaan perempuan dan digitalisasi koperasi di Bandung--(Antara)

Padahal, semua tahu berapa jumlah anggota delapan koperasi bermasalah ini dibandingkan dengan jumlah anggota koperasi yang mendekati angka 30 juta orang. Artinya, masih lebih banyak masyarakat yang diuntungkan dengan berbagai benefit berkoperasi.

Landasan Berbeda

Koperasi dibangun dengan landasan yang berbeda dengan industri perbankan. Koperasi mengedepankan aspek profit dan benefit dalam satu equilibrium model (model keseimbangan), sementara perbankan mengedepankan profit semata.

Koperasi memberikan layanan kepada anggota sebagai pemilik, karena anggota adalah pengguna dan pengendali (selain fungsinya sebagai owner).

Maka koperasi sejatinya tidak boleh menyebut anggota sebagai nasabah. Koperasi menyebut konsumennya sebagai anggota.

Pelayanan kepada anggota dalam berkoperasi tidak melihat apakah anggota memiliki jaminan atau tidak. Banyak koperasi, bahkan koperasi pada level besar, tidak mensyaratkan jaminan (collateral) karena sifat koperasi yang sesungguhnya anggotalah yang memiliki koperasi ini.

Tentu ini akan menjadi bermasalah saat koperasi disatukan pengawasannya pada OJK yang menyaratkan mitigasi risiko yang tentu berbeda dengan perbankan.

Koperasi menjaga harmonisasi profit dan benefit berbeda dengan praktik perbankan yang hanya mengedepankan profit semata. Perbankan menempatkan konsumen sebagai nasabah dan tentu menempatkan pemilik harus mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.

Jika koperasi menjadi ranah OJK maka peran koperasi dalam memberikan kesejahteraan anggota akan tereduksi dengan aturan-aturan OJK yang menyamakan koperasi sama dengan industri perbankan. Koperasi tidak akan lagi mampu menjalankan prinsip, nilai dan jati diri berkoperasi.

Dikatakan RUU PPSK ini dibuat untuk memberikan prioritas yang sama dan kesetaraan dengan lembaga keuangan lain termasuk industri perbankan.

Alasan ini harus dikoreksi karena pada sektor mikro masih banyak masyarakat yang jauh dari nilai bankable akan sulit mendapatkan akses pinjaman atau pembiayaan.

Jika nanti koperasi berada pada ranah OJK maka akan muncul istilah koperasiable, istilah yang menyamakan bahwa anggota koperasi yang bisa memperoleh fasilitas pinjaman atau pembiayaan adalah mereka yang dianggap memiliki risiko rendah dalam pengembalian pinjaman atau pembiayaan.

Penulis masih dengan jelas teringat saat Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian dan memutuskan undang-undang itu tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat.

Dan akhirnya Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian berlaku untuk sementara waktu sampai dengan terbentuk undang-undang yang baru.

Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan bahwa filosofi dalam Undang-Undang Perkoperasian ternyata tidak sesuai dengan hakikat susunan perekonomian sebagai usaha bersama dan berdasarkan asas kekeluargaan yang termuat dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


Sahroni

Tentang Penulis

Sumber: