Bos IMF Puji Jokowi, Pengamat Optimis Ekonomi Indonesia akan Tumbuh 5 Persen Lebih di 2022

Bos IMF Puji Jokowi, Pengamat Optimis Ekonomi Indonesia akan Tumbuh 5 Persen Lebih di 2022

Presiden Jokowi menerima kunjungan delegasi IMF, Minggu (17/07/2022), di Istana Kepresidenan Bogor., Jabar. (Foto: BPMI Setpres/Muchlis Jr) --

“Ketika indeks mobilitas masyarakat ini naik, berarti akan mendorong peningkatan konsumsi produksi, dan ini semua adalah hal baik bagi perekonomian," katanya. 

"Kemudian kalau kita lihat konsumsi masyarakat juga mulai meningkat, aktivitas bisnis, kemudian indeks purchasing manufaktur kita juga baik, ada kenaikan di investasi, saya kira ini semua membuat kita sebenarnya tidak terlalu khawatir akan kebangkrutan ekonomi yang banyak diprediksi gitu,” ucapnya.

Dia menilai, Indonesia masih akan bisa berada pada level target pertumbuhan ekonomi antara 4,6 sampai 5 lebih sedikit, seperti di kuartal 2 ini masih memungkinkan untuk dicapai.

"Karena apa, salah satu yang penting itu adalah pemulihan konsumsi rumah tangga. Juli 2022 tingkat belanja masyarakat udah naik ya, mungkin hampir mencapai 30% kenaikannya,” tambahnya.

Meski ekonomi Indonesia dalam tren positif, Rosdiana mengingatkan Pemerintah agar tidak terlena dengan pujian yang disampaikan oleh beberapa lembaga internasional, seperti IMF dan hasil survei Bloomberg, karena potensi Indonesia bernasib seperti Sri Lanka sangat terbuka lebar, jika kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah tidak sesuai dengan kebutuhan saat ini.

Meski begitu, Rosdiana begitu optimis Indonesia tidak akan bernasib seperti Sri Lanka, karena perekonomian Indonesia cukup baik bila dibandingkan negara-negara lain, termasuk Sri Lanka sendiri. 

“Saya kira kalau kita diprediksi apakah mungkin kita akan mengalami apa yang dialami oleh Sri Lanka, saya kira sih bisa-bisa saja kita khawatir dan itu hal biasa, tetapi kondisi ekonomi politik fundamental perekonomian kita, sosial masyarakat yang terjadi saat ini, saya kira kita tidak akan ke sana ya. Kondisi perekonomian kita secara makroprudensial itu membuat kita yakin bahwa Pemerintah bisa memaintance supaya aktivitas ekonomi kita ini tidak kepada kebangkrutan, seperti yang ada di Sri Lanka,” jelasnya.

Masalah yang dialami oleh Sri Lanka sangat berbeda dengan kondisi Indonesia, bila mau dibandingkan, dimana masalah utama yang membuat Sri Lanka bangkrut atau kolaps adalah kegagalan membayar utang luar negeri, atau gagal mendapatkan realisasi restrukturisasi utang luar negeri mereka yang cukup besar, terutama ke negara Tiongkok. Kemudian kegagalan ini diikuti dengan trust yang tidak ada lagi terhadap pemerintah, sehingga muncul isu sosial dan isu kemanusiaan. 

“Kalau kita lihat kondisi utang luar negeri Indonesia saat ini, memang perekonomian pada masa pandemi covid tahun lalu, misalkan kita punya kenaikan pada sisi hutang karena divisit APBN yang membengkak, tetapi saya kira kita tidak perlu khawatir seperti yang terjadi di Sri Lanka, karena Pemerintah melihat apa yang terjadi secara global,” ungkapnya. 

“Pemerintah harus membangun komitmen menurunkan hutang luar negeri kita, bisa dimaintance diturunkan, dengan apa, dengan cara punya komitmen supaya defisit anggaran kita di tahun mendatang itu bisa diturunkan, sehingga posisi hutang kita relatif terhadap PDB, bisa aman gitu ya, sehingga apa yang kita khawatirkan terjadi terhadap Sri Langka tidak terjadi di Indonesia,” pungkasnya. 

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


Afdal Namakule

Tentang Penulis

Sumber: