b. Investasi yang Berdampak Transformasional (UU No. 32 Tahun 2009):
- Perusahaan raksasa perlu memiliki Dana Investasi Dampak Wajib dari keuntungan bersih mereka. Ini bukan amal, melainkan kewajiban.
- Pemerintah perlu menerapkan insentif dan disinsentif pajak yang tegas dan mengikat.
- Penerbitan Obligasi Hijau dan Sosial yang berorientasi keadilan sosial (POJK No. 51/POJK.03/2017) perlu digalakkan, karena hingga akhir 2024 jumlahnya masih relatif kecil. Ini harus menjadi prioritas.
Sistem ekonomi Indonesia yang kini menguntungkan segelintir orang dan memicu penumpukan kekayaan ekstrem adalah ironi yang bertentangan telak dengan Pasal 33 UUD 1945. Pasal tersebut mengamanatkan demokrasi ekonomi yang berprinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan.
Perlunya Reformasi Regulasi
Untuk mengatasi masalah ini, reformasi regulasi dan standardisasi akuntabilitas korporasi melalui audit forensik independen adalah keharusan. Ini krusial untuk menutup celah hukum dan memastikan transparansi, sejalan dengan prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik (GCG) yang diatur OJK dan mematuhi UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
3. Statistik Kesenjangan yang Mengkhawatirkan: Angka-Angka yang Membuka Mata
Statistik dan analisis menunjukkan bukti yang memilukan:
a. BPS per September 2024: Gini Rasio nasional sekitar 0,388. Angka ini adalah cerminan jutaan rakyat yang hidup dalam ketidakpastian.
b. Analisis BPS pengeluaran per kapita: 20% penduduk terkaya menguasai lebih dari 45% pengeluaran nasional, sementara 40% termiskin hanya sekitar 17%. Kesenjangan itu adalah ketidakseimbangan ekonomi yang mencengangkan dan mengancam.
Situasi serupa mengharuskan adanya reformasi perpajakan progresif yang transparan, dengan pengawasan ketat dari DJP (UU No. 7 Tahun 2021/UU HPP), serta penguatan kapasitas penegak hukum dan hakim untuk menjerat pelaku kejahatan korporasi (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001).
4. Layanan Dasar yang Timpang: Cerminan Ketidakadilan Sistem