News

Imam Nahrawi Dituntut 10 Tahun Penjara Plus Cabut Hak Politik

fin.co.id - 13/06/2020, 10:15 WIB

Pesawat milik maskapai Citilink terdampak abu vulkanik erupsi Gunung Ruang di Bandara Sam Ratuangi, Manado, Sulawesi Utara

JAKARTA - Eks Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi dituntut 10 tahun penjara. Selain itu jaksa juga meminta hakim untuk mencabut hak politiknya.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ronald Ferdinand Worotikan meyakini bahwa mantan Menpora Imam Nahrawi terbukti menerima suap Rp11,5 miliar dan gratifikasi sebesar Rp8,648 miliar dari sejumlah pejabat Kementerian Pemuda dan Olahraga serta Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). Untuk jaksa menuntut Imam Nahrawi dengan pidana 10 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.

"Menyatakan terdakwa Imam Nahrawi secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan beberapa tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dakwaan kesatu alternatif pertama dan dakwaan kedua," ujar Ronald saat membacakan amar tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jumat (12/6).

Sidang digelar melalui konferensi video. Nahrawi berada di Gedung KPK sedangkan Jaksa, majelis hakim dan sebagian penasihat hukum berada di Gedung Pengadilan Tipikor.

BACA JUGA: Penghasilan Deddy Corbuzier dari YouTube Bisa Capai Miliaran Rupiah

Jaksa juga menuntut agar Imam Nahrawi membayar uang pengganti sejumlah Rp19,1 miliar. Jika tidak membayar dalam waktu satu bulan setelah keputusan pengadilan memperoleh hukum tetap, harta bendanya disita oleh Jaksa untuk dilelang.

"Jika harta benda terdakwa tidak mencukupi, maka dipidana dengan pidana selama tiga tahun," lanjut Jaksa.

Selain itu, Jaksa juga menuntut pidana tambahan berupa pencabutan hak dipilih dalam pemilihan jabatan publik Imam selama lima tahun terhitung sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokok.

Dalam pertimbangannya, Jaksa mengungkapkan hal yang memberatkan Imam adalah perbuatannya telah menghambat perkembangan dan prestasi atlet Indonesia, terdakwa tidak kooperatif, dan tidak mengakui secara terus terang seluruh perbuatannya. Selain itu, terdakwa tidak menjadi teladan yang baik.

"Hal meringankan terdakwa bersikap sopan selama pemeriksaan di persidangan, terdakwa masih memiliki tanggungan keluarga," ucap Jaksa.

BACA JUGA: Minta Pulang Paksa, Positif Corona Meninggal

Dalam surat dakwaan, Imam dinyatakan menerima suap sebesar Rp11,5 miliar dan gratifikasi Rp8,64 miliar dari Sekretaris Jenderal KONI, Ending Hamidy dan Bendahara Umum KONI, Johnny E Awuy. Perbuatan itu dilakukan secara bersama-sama dengan asisten pribadinya Miftahul Ulum.

Tujuan pemberian suap itu adalah untuk mempercepat proses persetujuan dan pencairan bantuan dana hibah yang diajukan oleh KONI Pusat kepada Kementerian Pemuda dan Olahraga tahun kegiatan 2018.

Pada 2018, KONI Pusat mengajukan proposal bantuan dana hibah kepada Kementerian Pemuda dan Olahraga dalam rangka pelaksanaan tugas Pengawasan dan Pendampingan Program Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional pada Asian Games ke-18 dan Asian Para Games ke-3 pada 2018 serta proposal dukungan KONI dalam rangka pengawasan dan pendampingan seleksi calon atlet dan pelatih atlet berprestasi tahun kegiatan 2018.

Dijelaskan Ronald, Imam Nahrawi mengacuhkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai penggunaan anggaran Kemenpora yang tidak dapat dipertanggungjawabkan senilai Rp11 miliar.

BACA JUGA: Arief Sugoto: Manfaatkan New Normal untuk Modernisasi Layanan Pertanahan

"Telah terungkap juga di persidangan mengenai pengetahuan terdakwa Imam Nahrawi terkait dengan adanya permintaan Miftahul Ulum yang mengatasnamakan terdakwa, yaitu ketika Gatot Dewa Broto dan Lina Nurhasanah menghadap terdakwa di ruang kerjanya untuk menyampaikan adanya temuan BPK mengenai dana akomodasi yang dikelola oleh Lina Nurhasanah tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk anggaran tahun 2016 sekitar Rp11 miliar," terangnya.

Selanjutnya Jaksa Budhi Sarumpaet menjelaskan bahwa Lina Nurhasanah merupakan Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Program Indonesia Emas (Prima) Kemenpora 2015—2016, sedangkan Gatot S. Dewa Broto menjabat sebagai Sekretaris Menpora (Sesmenpora).

"Lina Nurhasanah menyampaikan kepada terdakwa dari temuan BPK tersebut sejumlah Rp6.948.435.682 dipergunakan untuk mendukung kegiatan operasional terdakwa selaku Menpora, yaitu sebesar Rp4.948.435.682 untuk tambahan operasional perjalanan dinas dan sejumlah Rp2 miliar untuk pembayaran keperluan rumah terdakwa yang diserahkan melalui Miftahul Ulum," ungkapnya.

Namun, setelah menerima laporan dari Lina, Imam sama sekali tidak mengambil langkah perbaikan terhadap adanya permintaan uang dari Miftahul Ulum untuk kepentingan Imam yang menyebabkan adanya temuan BPK RI tersebut.

"Bahkan, terdakwa selaku Menpora cenderung acuh dan melakukan pembiaran terhadap perbuatan Miftahul Ulum selaku asisten pribadi terdakwa. Hal ini bertolak belakang dengan pengakuan terdakwa di persidangan yang menyatakan telah menyampaikan kepada jajaran pegawai Kemenpora RI agar memberitahukannya jika ada pihak-pihak yang meminta sejumlah uang mengatasnamakan terdakwa selaku Menpora," kata Budhi.

BACA JUGA: Keberatan Tagihan PLN, Pelanggan Bisa Cicil

Jaksa KPK juga mempertanyakan sikap Imam yang tidak pernah memberikan sanksi administratif maupun pemecatan terhadap Ulum sejak Imam mengetahui laporan tersebut.

Admin
Penulis