News

Imam Nahrawi Dituntut 10 Tahun Penjara Plus Cabut Hak Politik

fin.co.id - 13/06/2020, 10:15 WIB

Pesawat milik maskapai Citilink terdampak abu vulkanik erupsi Gunung Ruang di Bandara Sam Ratuangi, Manado, Sulawesi Utara

"Miftahul Ulum baru diberhentikan selaku asisten pribadi terdakwa jauh setelahnya, yaitu pada tahun 2019 setelah dilakukan OTT oleh KPK," ungkapnya.

Terhadap persoalan temuan BPK itu, menurut JPU KPK, Imam membenarkan adanya pertemuan dengan Gatot Dewa Broto.

"Yang pada pokoknya Gatot dan Lina Nurhasanah ingin melaporkan terkait dengan dengan temuan BPK tersebut. Namun, terdakwa dengan beralasan karena sudah malam maka tidak jadi dilakukan pembahasan tersebut," kata jaksa Budhi.

Dalam persidangan, Ulum juga menyatakan bahwa selain adanya penerimaan uang gratifikasi tersebut, ternyata Ulum juga pernah menerima sejumlah uang dari Dwi Satya untuk diberikan kepada pihak Kejaksaan Agung Adi Toegarisman dan pihak BPK Achsanul Qosasi.

BACA JUGA: Neta S. Pane: Biarkan Saja Novel Ngoceh Sesukanya!

"Terkait dengan keterangan tersebut, perlu kiranya untuk mendalami keterangan Miftahul Ulum lebih lanjut karena keterangan tersebut adalah keterangan yang berdiri sendiri dan di luar dari materi dakwaan yang harus dibuktikan oleh penuntut umum. Namun, keterangan Ulum tersebut menambah keyakinan penuntut umum bahwa penerimaan uang tidak sah dari pihak lain untuk kepentingan Menpora Imam Nahrawi melalui Miftahul Ulum selaku asisten pribadi Menpora telah berulang kali terjadi di lingkungan Kemenpora," kata jaksa.

Selanjutnya Budhi juga menjelaskan berdasarkan fakta persidangan pebulu tangkis Taufik Hidayat menjadi perantara penerimaan gratifikasi untuk Imam Nahrawi. Saat itu Taufik menjadi staf khusus Menteri Pemuda dan Olahraga.

"Dalam persidangan terungkap fakta hukum bahwa pada bulan Januari 2017, Tommy Suhartono selaku Direktur Perencanaan dan Anggaran Program Satlak PRIMA meminta uang sejumlah Rp1 miliar kepada Edward Taufan Pandjaitan alias Ucok selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) pada Program Satlak PRIMA Kemenpora RI untuk keperluan terdakwa Imam Nahrawi selaku Menpora yang diminta untuk diserahkan kepada Taufik Hidayat yang pada saat itu menjabat sebagai staf khusus Menpora," kata Budhi.

"Atas permintaan tersebut selanjutnya Ucok mengambil uang tunai sejumlah Rp1 miliar yang berasal dari anggaran akomodasi atlet Program Satlak PRIMA. Selanjutnya, uang tersebut diserahkan kepada Taufik Hidayat melalui Reiki Mamesah di rumah Taufik Hidayat, Jalan Wijaya 3 No. 16 Kebayoran Baru," lanjutnya.

BACA JUGA: Novel Baswedan: Pak Jokowi Selamat Atas Prestasi Aparat Bapak

Kemudian Tommy Suhartono menghubungi Taufik dan mengatakan bahwa akan ada Miftahul Ulum selaku asisten pribadi Imam yang akan mengambil uang titipan itu untuk keperluan Menpora. Ulum lalu datang ke rumah Taufik dan mengambil uang sejumlah Rp1 miliar untuk diserahkan kepada Imam.

"Di dalam persidangan, Miftahul Ulum tidak mengakui pernah Rp1 miliar dari Taufik Hidayat. Namun, penuntut umum berpendapat hal tersebut hanya merupakan upaya dari Miftahul Ulum untuk menyembunyikan perbuatan terdakwa Imam," kata jaksa menegaskan.

Penyebabnya, keterangan Tommy, Ucok, Reiki dan Taufik walau masing-masing keterangan yang berdiri sendiri namun saling berhubungan dan membenarkan adanya penerimaan uang oleh Imam.

"Dengan demikian, keterangan Ulum yang tidak mengakui telah mengambil uang Rp1 miliar dari Taufik di rumahnya adalah keterangan yang berdiri sendiri dan tidak didukung oleh alat bukti sah lainnya. Oleh karenanya sudah sepatutnya untuk dikesampingkan," kata jaksa.

Jaksa budhi juga meminta kepada majelis hakim merampas uang senilai Rp11,461 miliar di rekening atas nama KONI Pusat untuk negara.

Tiga barang bukti yang dituntut untuk dirampas negara, yaitu uang dalam rekening BNI atas nama Johnny E. Awuy senilai Rp61,149 juta; uang dalam rekening BNI atas nama KONI Pusat sejumlah Rp11,461 miliar; dan uang pengembalian dari saksi senilai Rp994,231 juta.

"Terhadap barang bukti tersebut di atas, sudah selayaknya penuntut umum menyatakan agar dirampas untuk negara," katanya.

Jaksa menilai Imam telah terbukti melanggar Pasal 12 huruf a Jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan kesatu alternatif pertama.

Ia juga terbukti melanggar Pasal 12B ayat (1) Jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan kedua.

Admin
Penulis
-->