Nasional

Belajar dari Konflik Ukraina-Rusia, Pakar Sebut Kunci Sukses Menang Perang adalah The Man Behind the Gun

JAKARTA, FIN.CO.ID- Lumpuhnya tank-tank kavaleri dalam perang Azerbaijan vs Armenia dan Ukraina vs Rusia akibat penggunaan drone tempur menimbulkan pertanyaan tentang relevansi satuan kavaleri dalam perang moderen. 

CEO Romeo Strategic Consulting M. Iftitah Sulaiman menegaskan satuan kavaleri masih relevan.

"Meski drone di Ukraina sukses menghajar lebih dari 2.435 tank rusia, tetapi kehadiran drone tidak serta merta meniadakan satuan lain. Tidak mungkin juga meniadakan Satuan Kavaleri," kata Iftitah, Kamis 13 Oktober 2022.

Ia juga menekankan bahwa pasukan Kavaleri adalah satuan manuver, atau pasukan darat (ground forces). 

Sementara drone adalah komponen pertempuran udara (airland battle). Untuk menduduki dan menguasai suatu wilayah daratan, tentu yang dibutuhkan adalah pasukan darat.

Di samping itu, lanjut Iftitah, tidak semua negara memiliki kecanggihan drone. Senjata drone dan anti drone juga masih barang mahal. Kemampuan SDM untuk mengendalikan drone pun, katanya, memiliki tantangan yang tidak mudah.

BACA JUGA:Salah Perhitungan, Pasukan Rusia Kehabisan Senjata dan Amunisi di Ukraina

BACA JUGA:Kecam Serangan Rusia, Joe Biden Janji Sediakan Lebih Banyak Senjata Canggih untuk Ukraina

Peraih Adhi Makayasa dan lulusan terbaik Akademi Militer 1999 ini juga mengajak untuk belajar dari masa lalu. 

Kehadiran Tank, kata Iftitah, tidak lantas meniadakan kehadiran pasukan berkuda. Untuk jalan-jalan sempit dan tertutup, kehadiran pasukan berkuda tetap dibutuhkan. Jadi kehadiran teknologi, sifatnya saling melengkapi, bukan saling meniadakan.

Selain faktor senjata dan teknologi, Iftitah mengatakan bahwa kunci sukses memenangkan perang adalah the man behind the gun.

Ia mencermati fighting spirit Ukraina sangat besar. Rusia kalah jauh. Banyak warga dan pemuda Rusia yang kabur dari kewajiban berperang. 

Bahkan Iftitah mencermati adanya jenderal- jenderal tua Rusia yang telah purnawirawan, harus diaktifkan lagi, karena tidak ada yang mau bertempur di Ukraina. 

Berbeda dengan Rusia, kata Iftitah, warga Ukraina merelakan dirinya untuk ikut wajib militer membela negaranya.

BACA JUGA:Vladimir Putin Tuding Intelijen Ukraina Dalang Pengeboman Jembatan Selat Kerch

BACA JUGA:Ultah ke-70, Putin Dapat Kado Istimewa, 4 Wilayah Ukraina Bergabung ke Federasi Rusia

Mantan Komandan Batalyon Kavaleri 4/Tank Kodam III Siliwangi ini, juga merujuk kepada pelajaran dari Perang Dunia II. Salah satu kesuksesan Jerman dalam perang kilat adalah Auftragstaktik.

Auftragstaktik, kata Iftitah, adalah filosofi militer yang menekankan kepada pemberian ruang dan waktu kepada komandan bawahan, untuk mengambil sejumlah inisiatif. 

Auftragstaktik adalah ruang kreasi komandan bawahan, untuk melakukan sejumlah tindakan yang diyakininya, akan mampu mencapai keberhasilan tugas pokok. Tentu tetap dalam koridor petunjuk perencanaan komandan atasannya.

Iftitah mengatakan, "Jadi, komandan bawahan tidak selalu bertanya; Izin Komandan, mohon petunjuk, dalam setiap langkahnya. Cukuplah komandan atasan mengatakan: Ini misi yang harus dicapai, dalam waktu tertentu. Soal bagaimana mengeksekusinya diserahkan kepada komandan bawahan."

Tapi Iftitah menegaskan, tentu Auftragstaktik tidak bisa seketika dijalankan. Harus dimulai dengan melakukan reformasi pendidikan militer di semua bidang. 

Auftragstaktik ini, katanya, ditiru oleh oleh Inggris dengan Mission Type Order-nya, ditiru juga oleh Amerika Serikat dengan Mission Command-nya, hingga sekarang. Ini diterapkan bukan hanya untuk para perwira Kavaleri, tetapi juga untuk seluruh kecabangan lainnya.

Oleh karen itu, Iftitah menyarankan agar Kavaleri TNI-AD melakukan transformasi organisasi, peralatan, doktrin, taktik serta sumber daya manusianya.

Ini disampaikan Iftitah dalam seminar Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS) yang diselenggarakan secara online (12/10). 

Para pembicara yang lain adalah Direktur Persenjataan Pusat Kesenjataan Kavaleri TNI AD Brigjen TNI Agus Erwan, Wakil Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI Brigjen TNI Rano Tilaar, dan Wartawan Kompas Harry Susilo yang baru pulang dari meliput perang di Ukraina. 

BACA JUGA:Guru Besar UI Puji Peran Jokowi di Panggung Dunia, dari Kunjungan Ukraina dan Rusia hingga G20

Iftitah, alumnus US Army Command and General Staff College, menguraikan, "Di bidang organisasi, bentuk transformasi ini harus mengutamakan combined armed. Di bidang peralatan, Kavaleri bisa melakukan negosiasi dengan satuan Penerbangan TNI AD (Penerbad) untuk menyertakan Heli Apache dan Heli Mi-35 sebagai bagian dari pengerahan Satuan Kavaleri. Kami juga mendorong tumbuhnya industri pertahanan dalam negeri, termasuk membuat Tank sendiri." 

Iftitah melanjutkan, "Doktrin dan taktik perangnya pun, harus joint forces, bukan hanya Darat tetapi juga dengan Matra Udara. Sedangkan di bidang SDM, perwira Kavaleri harus memiliki karakter Man of Vision, dan fighting spirit, militan, mampu melihat ke depan, beradaptasi dengan perkembangan teknologi serta berkolaborasi dengan pasukan lain. 

“Perintah Jenis Tugas”, Auftragstaktik-nya Indonesia, juga harus dikembangkan secara maksimal. Saya pernah belajar “perintah jenis tugas” ini waktu sekolah dasar kecabangan. Tetapi di lapangannya, saya lihat kurang sekali dikembangkan."

Belajar dari pengalamannya saat tugas operasi di Aceh pada akhir masa Daerah Operasi Militer (DOM) tahun 2003, Iftitah menekankan pentingnya menguatkan industri pertahanan dalam negeri. "Dulu waktu di Aceh, tank Scorpion (buatan Inggris) yang datang 28 yang operasional cuma 2. Kemudian diganti panser dari Pindad, dari 16 cuma 2 rusak ringan itu pun bisa diperbaiki,” ungkapnya.

Iftitah yakin satuan Kavaleri masih dan tetap akan relevan dalam peperangan moderen, terutama untuk operasi lawan gerilya.

"Satuan kavaleri sangat efektif. Apalagi ketika di masa awal operasi militer, perekonomian lumpuh. Dengan kavaleri, jalur-jalur perbekalan umum bisa dijaga, demikian juga pergeseran logistik," papar Iftitah merujuk pada pengalamannya dalam tugas operasi di Aceh. 

Selain di Aceh, Iftitah juga pernah bertugas sebagai pasukan penjaga perdamaian PBB di Libanon (UNIFIL), tergabung dalam Batalyon Infanteri Mekanis pertama yang dikirim pemerintah Indonesia ke wilayah konflik tersebut.

"Tantangan satuan kavaleri justru ada di ciri khasnya yaitu teknologi. Dengan bisa beradaptasi dengan teknologilah, satuan kavaleri itu tetap relevan," kata Iftitah, "Yang tidak relevan itu kalau masih ada yang bicara soal ego sektoral karena tema perang modern adalah kolaborasi, joint forces dan combined arms, semua kesatuan saling melengkapi dan menutup kekurangan yang lain,” 

"Majulah Kavaleriku. Jaya di medan perang, berguna di masa damai," kata Iftitah menutup paparannya.

 

 

Admin
Penulis