Deddy Corbuzier ke Menkominfo: Judi Online Dipromosikan Artis Kok Gak di Blokir, yang Punya Terlalu Kuat ya?

Deddy Corbuzier ke Menkominfo: Judi Online Dipromosikan Artis Kok Gak di Blokir, yang Punya Terlalu Kuat ya?

Deddy Corbuzier--Instagram / @mastercorbuzier

"LBH Jakarta menilai, Pembatasan Sistem Internet dan Aplikasi harus memenuhi syarat setidaknya berdasarkan ditetapkan oleh undang-undang (Prescribed by Law), dilakukan dalam masyarakat yang demokratis, ketertiban umum (Public order), kesehatan masyarakat, moral publik, keamanan nasional, keselamatan publik, hak dan kebebasan orang lain atau hak dan reputasi orang lain, ada tujuan yang sah (legitimate aim), dan harus dibuktikan bahwa pembatasan tersebut diperlukan secara proporsional (Necessary) dan kesemuanya syarat pembatasan tersebut harus dibuktikan melalui forum yang transparan, keadilan dan perlakuan yang setara di Pengadilan karena beban justifikasi atau pembuktian pembatasan bertumpu pada negara. Oleh karenanya Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat tidak memiliki legitimasi yang sesuai dengan Standar dan Mekanisme Pembatasan HAM untuk melakukan Pemblokiran situs internet dan aplikasi," tulis LBH Jakarta. 

Ketiga, LBH Jakarta menilai pemblokiran situs internet dan aplikasi yang dilakukan oleh KOMINFO merupakan Perbuatan melanggar hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan karena telah melanggar kewajiban hukum KOMINFO untuk memastikan pemenuhan Standar dan Mekanisme HAM dalam penyelenggaraan Sistem Elektronik di Indonesia. 

(BACA JUGA:Kawasan Wisata Pulau Komodo dan Sekitarnya Disebut Dikuasai 4 Korporasi Besar, Ini Daftarnya)

KOMINFO tampaknya tidak pernah belajar dari kesalahannya ketika melakukan perlambatan (throttling) akses/bandwidth di beberapa wilayah Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua pada 19 Agustus 2019 yang kemudian digugat dan dinyatakan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta sebagai Perbuatan Melanggar Hukum berdasarkan Putusan Nomor : 230/G/TF/2019/PTUN-JKT (baca: https://ptun-jakarta.go.id/wp-content/uploads/2020/06/2019_TF_G_230_putusan_akhir.pdf), Putusan tersebut seharusnya menjadikan KOMINFO lebih mengedepankan standar dan mekanisme HAM serta Prinsip kehati-hatian (prudential) dalam melakukan tindakan Pemblokiran sistem internet dan aplikasi karena dampaknya sangat serius terhadap HAM;

Keempat, selain tidak memiliki legitimasi sebagaimana syarat pembatasan HAM, LBH Jakarta juga menilai Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat bermasalah secara substansial karena dapat melakukan intervensi langsung kepada platform untuk menghapus konten dengan dalih “meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum”, padahal tidak ada standar baku penentuan kapan sebuah konten dapat dianggap meresahkan masyarakat dan/atau mengganggu ketertiban umum. 

Subjektivitas dalam penentuan standar ini dapat berdampak pada Pelanggaran Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, hak untuk berkomunikasi serta memperoleh informasi. Lebih buruk, Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat ini juga bermasalah karena terdapat pengaturan yang dapat melanggar Privasi dengan alasan Pengawasan dan Penegakan Hukum. 

Perlu diketahui Indonesia juga menjadi negara yang paling banyak meminta penghapusan konten (Google Content Removal Transparency Report, 2021). Oleh karena itu, ketentuan tersebut berpotensi menjadi instrumen kontrol negara yang eksesif di ruang digital dengan kaburnya ukuran-ukuran alasan penghapusan konten tersebut.

(BACA JUGA:Nah Loh! Pelaku Usaha Pariwisata Labuan Bajo Siap Mogok, Tolak Tarif Rp3,75 Juta yang Diberlakukan Pemerintah)

Kelima, LBH Jakarta menilai Pemerintah bersama dengan DPR seharusnya fokus dalam upaya melindungi data pribadi warga negara dengan mempercepat proses legislasi RUU Perlindungan Data Pribadi, bukan justru membuat kebijakan-kebijakan otoriter yang tidak didasarkan pada kepentingan utama masyarakat. 

Padahal, banyaknya kasus kebocoran data pribadi yang dimanfaatkan oleh kepentingan tertentu (misalnya dalam kasus Pinjaman Online) harusnya cukup untuk membuat Pemerintah menentukan prioritasnya demi  menciptakan tata kelola dan ekosistem perlindungan data pribadi yang komprehensif dan protektif.

Keenam, LBH Jakarta menilai Pemerintah seharusnya juga fokus pada kesiapan perangkat aturan untuk menekan tingginya angka kekerasan seksual berbasis gender online dan Penyebaran Konten Intim Non Konsensual (NCII), secara khusus pasca berlakunya Undang-undang No. 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

 
 
 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by Deddy Corbuzier, Ph.D (@mastercorbuzier)

 

 

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


Sigit Nugroho

Tentang Penulis

Sumber: