News

Dahlan Iskan: Masa Depan adalah Listrik Bukan Minyak

fin.co.id - 2020-01-14 01:50:27 WIB

JAKARTA - Mantan Menteri BUMN era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Dahlan Iskan kaget campur geli, setelah membaca pesan WhatsApp (WA) yang dikirim dari seorang teman. Pesan itu menyebut pemerintah melalui Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) akan memproduksi minyak mentah satu juga barel perhari.Ya, kagetnya mantan Bos Jawa Pos itu bukan kepalang. Karena selama ini sulit terealisasi. Tapi ini bukan hal yang sulit dicapai, apalagi setelah SKK Migas menerapkan lima aspek transformasi, yaitu Clear Vision, Smart Organization, One Door Service Policy, Commercialization, dan Digitalization.Bahkan, SKK Migas juga merancang empat strategi utama untuk meningkatkan produksi sekaligus memenuhi migas domestik. Salah satunya mempertahankan tingkat produksi existing. Alamak, luar biasa! ”Saya terkejut senang. Ketika menerima WA dari teman baik. Yang memberitahukan bahwa pemerintah sudah punya target memproduksi minyak mentah 1 juta barel,” cetus Dahlan, Senin (13/1).Menurut Abah—sapaan Akrab pria yang kerap disapa DI itu, satu barel angka keramat yang sulit dicapai presiden siapa pun, kecuali Pak Harto. Produksi minyak mentah kita turun terus. Terakhir kurang dari 800.000 barel setahun. Akibatnya kita harus impor BBM terus. Pun kian lama kian besar. Setara 1,2 juta barel/tahun. "Hebat,"  ujar Dahlan dalam hati seperti ditulis dalam kolom Disway.Dahlan hanya berharap, rekannya tidak lagi meneruskan pesan WA. Yang hanya membuat kegembiraan dirinya layu ketika baru saja mulai berkembang. Apalagi, target itu ternyata tahun 2030. ”Ups, Ya sudah. Yang penting ada target. Kalau pun tidak tercapai kan kita sudah lupa,” timpalnya.Soal target, apa pun menjadi realistis ketika dikerjakan dengan sungguh-sungguh. ”Tapi belum tentu tidak tercapai. Bisa jadi justru tercapai lebih cepat. Mengapa? Pemerintah Jokowi sudah mengoreksi keputusan pemerintah Jokowi sebelumnya,” terang Dahlan.Asumsi kebijakan yang diterapkan pemerintah saat ini, salah satunya tidak lagi memaksakan aturan gross split pada investor di ladang migas.”Menteri ESDM yang baru, Arifin Tasrif, membuat putusan bijak. Tidak perlu mencabut peraturan menteri sebelumnya, yang membuat Bu Susi sewot.Ups salah. Ini kan tidak ada hubungannya dengan Bu Susi mantan Menteri Kelautan dan Perikanan,” kelakar Dahlan.Ya, kebijakan maupun regulasi yang diantun, jelas-jelas menurut Dahlan menyangkut Kementerian ESDM. Aturan gross split dinilai banyak hal baik. Terlebih dengan peraturan bijak itu, investor boleh pilih. ”Ada dua menu yang kini tersedia. Menu lama gross split atau menu yang lebih lama lagi (cost recovery),” tulisnya.Di atas kertas sistem gross split sebenarnya memang lebih sederhana. Juga bisa menghilangkan ruwetnya proses persetujuan untuk mendapatkan cost recovery. Nah keruwetan itulah yang selama itu membuat birokrasi di BP-Migas (kini SKK Migas) menjadi obesitas dengan segala penyakit ikutannya.”BP-Migas pernah menjadi mirip kerajaan di dalam negara.Saya pernah ke kantor Kepala BP Migas. Waktu saya masih menjadi sesuatu dulu. Saya kaget-habis. mewahnya tak terpermanai,” ungkap pria kelahiran Magetan, 17 Agustus 19 51 itu. ”Ruang kepala itu satu lantai penuh. Dengan perabotan yang sangat tidak pantasnya sebagai kantor instansi pemerintah. Saya benar-benar speechless,” kenangnya.Pada kondisi itu, Dahlan tetap mencoba memahami jalan pikirannya. ”Misalnya memancing ikan besar jangan pakai cacing kecil. Atau kalau yang diumpankan kacang dapatnya hanya monyet. Lalu ingat juga pepatah Surabaya Jer Basuki Mowo Beo. Tetap saja saya tidak paham,” tuturnya.Kembali pada regulasi, Dahlan juga menyinggung soal kritik keras terhadap sistem ruwet cost recovery yang mencakup besarnya uang yang dikeluarkan pemerintah dan dipotongkan dari bagi hasil minyak. Karena biaya apa pun yang terkait dengan pengeboran harus diganti. ”Termasuk biaya pulang untuk libur akhir pekan yang pulangnya itu ke luar negeri,” timpal Dahlan.Menurut dia, dengan sistem gross split semua keruwetan itu hilang. ”Pokoknya, wahai investor, silakan gali sumur migas. Tanggung sendiri semua biayanya. Kalau berhasil kalian akan mendapat bagian lebih banyak dari pada sistem recovery. Kalau gagal ya itulah resiko bisnis. Tanggung sendiri,” urainya.Di sistem cost recovery, sambung Dahlan, semua biaya itu tetap ditanggung investor. Tapi sifatnya talangan. Kelak semua biaya itu ditagihkan ke pemerintah ke BP-Migas. Setelah itu hasil migasnya dibagi investor mendapat bagian lebih kecil dibanding sistem gross split. Hasil akhirnya sebenarnya sama. ”Keuntungan gross split bagi investor jelas. Yrusan administrasinya sederhana. Sedang keuntungan bagi pemerintah jelas. Memangkas birokrasi termasuk menghilangkan korupsi sejak dari sumbernya,” tulis Dahlan.Asumsi-asumsi yang ada, bagi mantan Direktur PLN itu di dunia bisnis, yang ideal belum tentu bisa jalan. Buktinya sistem gross split itu tidak membuat investor tertarik. Masa return on invesment-nya terlalu panjang. Kecuali, mungkin, dilakukan perbaikan. Sistem bagi hasil di gross split-nya dibuat berjenjang.Misalnya bagi hasil lima tahun pertama sangat besar. Lima tahun kedua mengecil. Dan seterusnya. Memang ada juga yang mau gross split, tapi umumnya yang kategori perpanjangan izin. Bukan yang menggali sumur minyak baru. Sistem gross split bisa dibilang gagal. ”Baik juga. Kita pernah mencoba sistem gross split. Agar pengritik sistem cost recovery tidak lagi ngotot-ngotot. Kini silakan pilih menu. Mau gross split silakan. Mau cost recovery ok. Kapan sistem pilih menu itu mulai berlaku?” tanya Dahlan.Dalam posisi ini, Dahlan menyarankan jangan sampai balik ke sistem cost recovery zaman BP-Migas. ”Harus ada perbaikan. Harus dibuang dulu lemak dan kolesterolnya. Dan itulah yang sedang dilakukan di Kementerian ESDM sekarang ini,” jelasnya.Menurut Dahlan, bisnis migas terlalu banyak risiko. Jangka waktunya juga terlalu panjang. Sangat tidak menarik kalau insentifnya tidak sangat menggiurkan. ”Masa depan adalah listrik. Bukankah minyak lagi. Penemuan sistem penyimpanan listrik akan merombak habis sistem energi dunia.Membuat target menurunkan konsumsi BBM akan lebih futurustik daripada menaikkan produksi migas. Tapi saya juga memaklumi orang tua punya kebiasaan memimpikan masa lalu,” tutup Dahlan.Selain penjelasan Dahlan Iska, dari beberapa refrensi yang didapat Fajar Indonesia Network (FIN), sebenarnya target ini bukan hal aneh bagi pemerintah. Ingat tujuh tahun lalu, pemerintah pernah sesumbar bahwa dalam waktu dekat Indonesia bisa produksi minyak hingga 1 juta barel per hari.Tepatnya pada 2011, saat itu Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral yang menjabat adalah Jero Wacik. Target 1 juta barel ini seakan dekat mengingat rata-rata produksi minyak saat itu di 902 ribu-905 ribu barel sehari. Andalan untuk mengejar target tersebut adalah Blok Cepu, yang dikelola oleh Exxonmobile.Jero menghitung jika proyek pengembangan lapangan Banyu Urip bisa dirampungkan dalam 36 bulan atau 3 tahun, produksi minyak di blok tersebut bisa mencapai 165 ribu barel sehari. Hitungan mudahnya, 902 ribu ditambah 165 ribu maka produksi minyak bisa lewat satu juta barel. Begitu janji pemerintah di 2011. Tiga tahun berlalu, masuk 2014 Cepu berhasil kembangkan lapangan Banyu Urip. Tapi, produksi minyak di blok lainnya merosot, alhasil rata-rata produksi minyak malah jeblok ke 790 ribu barel sehari.Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Wisnu Prabawa Taher mengatakan untuk mewujudkan target peningkatan produksi minyak tersebut Wisnu menjabarkan empat strategi yang dijalankan oleh SKK Migas. Pertama, menahan penurunan produksi alami serta mendorong peningkatan produksi. Caranya, antara lain dengan memaksimalkan kegiatan kerja ulang (work over) dan perawatan sumur, reaktivasi sumur tidak berproduksi,dan inovasi teknologi, serta menjaga keandalan fasilitas produksi.Strategi kedua adalah mempercepat potensi sumber daya menjadi produksi minyak yang siap jual (lifting). Hal ini dilakukan dengan mengakselerasi monetisasi penemuan yang belum dikembangkan (undeveloped discovery) melalui POD baru atau POP (27 proyek migas), optimalisasi POD yang tertunda, World Class Project Management, dan juga mengelompokan sumber daya gas, peluang proyek, dan pasar gas.Ketiga, mendorong penerapan Enhanced Oil Recovery (EOR) di lapangan tua (mature). ”SKK Migas akan mempercepat proyek-proyek EOR di antaranya Field Trial EOR di 2019 meliputi Lapangan Tanjung, Jatibarang, dan Gemah. Juga melakukan strategi aliansi dengan pemain EOR kelas dunia,” katanya. (fin/ful) 

Admin
Penulis