Jangan Hambat Anak Bangsa

Jangan Hambat Anak Bangsa

JAKARTA – Pembahasan Undang-Undang Pemilu yang saat ini masuk tahap harmonisasi terus menjadi sorotan. Melihat pengalaman pemilu ke belakang, pembuat regulasi perlu bercermin. Presidential Threshold menjadi salah satunya. Rumusan angka perlu pertimbangan yang matang dan keputusan yang bijak. Anggota Komisi II DPR RI Surahman Hidayat mengatakan, terkait besaran angka agar tidak menghambat anak bangsa untuk menjadi kandidat calon presiden. Serta menghindari terjadinya perpecahan dimasyarakat. “Pilpres 2019 menjadi pengalaman pahit demokrasi Indonesia. Bagaimana pilpres menjadi ajang perselisihan, benturan secara fisik, yang masih membekas sampai sekarang. Saya melihat masih ada sebagian masyarakat yang membawa ingatan pilpres sampai saat ini,” katanya, Kamis (14/1).

BACA JUGA: Resmi Jadi Penggawa MU, Amad Diallo Targetkan Trofi Liga Inggris dan Liga Champions

Menurutnya, besaran angka presidential threshold perlu diturunkan diangka moderat. Dimana memungkinkan munculnya empat sampai pasangan calon presiden dan wakil presiden. Situasi ini, akan memungkinkan terjadi putaran kedua. Karena kemungkinan tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen dari tersebar merata diberbagai provinsi. “Tapi situasi ini lebih baik, dibandingkan terjadinya kembali perselisihan politik yang tajam di tengah-tengah masyarakat,” terangnya.

BACA JUGA: Taufiqurrahman: Kalau HRS Jadi Tersangka Langgar Prokes, Mestinya Raffi dan BTP Juga

Anggota Fraksi PKS ini menilai, angka 10 persen suara atau 15 persen kursi merupakan rumusan angka yang moderat. Besaran tersebut, memungkinkan semua partai politik yang ada di parlemen memiliki calon sendiri. Koalisi dua partai parlemen juga sudah bisa memenuhi ketentuan 10 persen suara atau 15 persen kursi. “Ditengah pandemi covid 19 yang masih membayangi bangsa Indonesia, partai-partai dituntut lebih memikirkan kepentingan bangsa dibandingkan kepentingan politik partainya,” ujarnya.

BACA JUGA: Taufiqurrahman: Kalau HRS Jadi Tersangka Langgar Prokes, Mestinya Raffi dan BTP Juga

Sebelumnya, Anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus mengakatan setuju bila UU Pemilu tidak direvisi tiap lima tahun sekali. Ia berharap revisi UU Pemilu kali ini bisa dioptimalkan untuk jangka yang lebih panjang dan bukan mengakomodir situasi tertentu dan kepentingan tertentu mengikuti siklus lima tahunan saja. UU Pemilu seyogyanya dievaluasi setelah berjalan tiga atau lima kali pemilu. Hal itu penting agar tidak ada kesan merubah regulasi pemilu demi kepentingan politik. "Kami selalu me-review undang-undang itu. Bagaimana kedepannya kita membuat tradisi, hasil terhadap revisi undang-undang itu, bisa digunakan tiga hingga lima kali pemilu. Itu merupakan komitmen kami di Komisi II," kata Guspardi.

BACA JUGA: Tangan Dokter Gemetar Saat Vaksin, Rocky Gerung: Dia Khawatir jika Jokowi Kena Alergi

Politisi Fraksi PAN itu menuturkan, seharusnya UU Pemilu tidak direvisi terlalu cepat. Jika UU Pemilu kerap gonta ganti dan direvisi menjelang pemilu, akan menimbulkan kesan adanya kepentingan politik sesaat terutama dari partai-partai besar yang berkuasa. Sementara itu, gugatan yang dilayangkan ekonom senior Rizal Ramli ke Mahkamah Konstitusi ditolak. Ia meminta agar aturan ambang batas presiden dihapus karena menghilangkan hak konstitusional sejumlah partai politik yang ingin mengusung calon presiden. Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam sidang pengucapan putusan mengatakan, Rizal Ramli tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan tersebut. MK menyatakan sesuai Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum.

BACA JUGA: Evi Novida: Pemberhentian Arief Budiman dari Ketua KPU Berlebihan, Saya Sedih

Atas dasar pasal tersebut, pengusulan pasangan calon tidak ditentukan oleh kehendak perseorangan. Sehingga subjek hukum yang mempunyai hak konstitusional dan memiliki kedudukan kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan itu adalah partai politik atau gabungan partai politik. "Maka yang memiliki hak kerugian konstitusional menurut permohonan yang diajukan oleh para pemohon adalah partai politik atau gabungan partai politik," beber Arief, Kamis (14/1). MK selanjutnya juga menyatakan, Rizal Ramli tidak dapat menunjukkan bukti pernah diusung oleh partai atau gabungan partai seperti yang didalilkan dalam persidangan. Arief mengatakan, Rizal Ramli mendalilkan beberapa kali mendapat dukungan publik dari beberapa partai politik untuk mencalonkan diri sebagai calon presiden dan diminta untuk membayar sejumlah uang. "Namun, tidak terdapat bukti yang dapat meyakinkan Mahkamah bahwa pemohon pernah dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik sebagai calon Presiden," tandasnya. (khf/fin)

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


admin

Tentang Penulis

Sumber: