Ikut Semut

Ikut Semut

--

Maka selama di Beijing saya mengantongi VCO dari Ciheras. Sebelum mendarat di bandara Beijing saya olesi bibir dengan VCO. Saya usap juga punggung tangan dengan VCO. Pun wajah saya. Semua bau minyak kelapa. Sebentar. Lalu menghilang. Atau hidung saya yang menjadi kebal. Nggak masalah.  Toh tidak akan ada yang mencium orang tua seperti saya.

Yang penting bibir aman. Kulit tangan tetap lembut. Tumit mulus. Halus. Kulit tidak terpapar bahan kimia. VCO adalah nabati. Alami. Back to nature.

Pun selama di Shanghai. Meski tidak sekering di Beijing udara Shanghai tetap kering –di musim dingin. Buktinya: cucian saya sudah kering dalam semalam. Hanya sedikit lebih lambat dari di Beijing: kering dalam waktu setengah malam.

Itu kebiasaan lama saya. Hanya membawa sedikit baju di musim dingin. Lihatlah foto-foto saya: bajunya seperti tidak pernah ganti. Setiap mandi malam, saya sekalian cuci celana dalam, kaus terdalam, dan kaus kaki. Lalu diperas. Digantung di gantungan baju. Bangun tidur, pakaian sudah kering. Siap dipakai kembali.

Pun celana. Hanya membawa satu jeans tebal. Itu pun belum pernah saya pakai. Jeans yang warna hitam ini enak sekali di badan. Hangat. Setelah saya pakai tiga hari, saya cuci di kamar mandi. Tidur pakai celana tidur. Pagi hari jeans itu sudah kering. Kasihan jeans warna biru muda. Tetap di bangku cadangan.

Istri saya sudah saya sarankan ikut gaya saya: jangan bawa baju banyak-banyak. Ini musim dingin. Musim kering. Tapi dia punya agama sendiri: ''saya ini wanita''. Ya sudah. Saya bukan seperti yang Anda tuduh: takut istri. Tapi saya memang tidak pernah berbantah.

Di malam tahun baru kemarin pun saya bawa VCO itu menyusuri Jalan Nanjing Timur, Shanghai. Menuju Old Jazz. Di Peace Hotel. Bersama menantu, Mas Tatang. Yang lain seperti rencana awal: tidak keluar kamar hotel.

南京东路 padat. Kami pilih lewat jalan satunya yang sejajar. Setelah agak dekat ke sungai, menurut rencana, baru belok kiri. Ternyata semua jalan belok kiri dijaga. Tidak boleh dimasuki. Kami diarahkan terus ke utara, ke pinggir sungai. Itulah tujuan utama malam tahun baru: pinggir sungai.

Saya sudah mencoba menjelaskan: tujuan saya ke hotel ''itu'', bukan ke pinggir sungai. Tetap saja tidak bisa. Maka jadilah saya turis pada umumnya. Berjejal menuju pinggir sungai. Lalu belok kiri di situ. Bertabrakan dengan arus manusia yang dari jalan Nanjing Timur yang seperti air bah.

Ternyata saya bisa belok ke arah Peace Hotel. Hanya harus memutar. Mengikuti arus yang sudah diatur untuk kelancaran malam tahun baru. 

Malam kemarin jalan Nanjing Timur dibelah dua: sisi selatan untuk pejalan kaki menuju sungai. Sisi utara untuk yang kembali dari sungai. 

Yang membelah jalan itu barisan tentara. Bukan pagar. Barisan tentaranya bukan satu baris, tapi dua baris. Saling membelakangi. Antara barisan tentara yang menghadap utara dan yang  menghadap selatan ada zona kosong 1,5 meter. Rapi sekali. Yang selatan penuh manusia menuju sungai. Yang utara penuh manusia yang meninggalkan sungai. Di tengah-tengahnya ruang kosong yang dipagari tentara.

Di tiap simpang empatnya ada pengaturan yang lebih rapi. Jalan yang memotong Nanjing Timur tidak ditutup. Kendaraan tetap bisa memotong jalan Nanjing Timur. Ikut lampu bangjo.

Menjelang lampu merah, 16 tentara membentuk gerakan rapi menutup jalan. Semua pejalan kaki harus berhenti di depan tentara itu. Suasananya menjadi padat. Seperti air deras yang dibendung. Tidak ada yang mencoba menerobos tentara.

Begitu lampu menjelang hijau, 16 tentara itu membuat gerakan seperti pintu membuka. Gerakan yang rapi khas tentara. Barisan 16 tentara itu tetap lurus. Disiplin. Seperti benar-benar pintu yang membuka. Pejalan kaki pun melintas.

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


Afdal Namakule

Tentang Penulis

Sumber:

Berita Terkait

DK Jakarta

1 minggu

Catch Kill

1 minggu

Inisial B

1 minggu