Pasar Apung

Pasar Apung

--

Di umur 72 tahun ini saya melihatnya lagi di sepanjang sungai Martapura. 

Di sini saya juga melihat suami istri berperahu kecil menuju kebun. Perahu tanpa atap. Lebar perahu hanya cukup untuk satu badan. Suami istri itu duduk berjauhan. Satu di depan. Satu di belakang. Mereka sibuk menyingkirkan ilung, tanaman mengapung yang memblokir pinggiran sungai. 

Suami istri itu perlu menerobos ilung untuk masuk parit kecil. Kebun itu rupanya berada di pinggir parit tersebut.

Begitu lama saya tidak melihat orang ke kebun naik perahu kecil. Dekade sudah sering berganti. saya melihatnya lagi di dekade ini.

Setelah setengah jam melihat masa lalu seperti itu sampailah di lokasi pasar terapung. Perahu kami disambut banyak perahu kecil yang membawa dagangan: nasi kuning haruan, nasi kuning hintalu, air dalam botol, pisang, jeruk, rambutan, kesemek, dan segala hasil bumi sekitar sungai itu. Perahu kami seperti terkepung puluhan perahu kecil.

Tidak ada skenario akan membeli apa pun di situ. Tapi tidak mungkin. Seorang ibu begitu agresif menawarkan dagangan. Seorang remaja putri menempelkan perahunyi ke perahu kami. Tangan kanannyi memegang dagangan. Tangan kirinyi memegang tali perahu. Mereka begitu gigih berdagang. Saya harus menghargai kegigihan usaha seperti itu. Maka istri saya membeli banyak hal tanpa tahu bagaimana menghabiskannya.

Saya pun memberi kode Nisa, untuk segera balik ke Banjarmasin. Pikiran saya bergejolak. Simpati. Iba. Kagum. Prihatin. Jadi satu.

Waktu berperahu meninggalkan pasar terapung itu terlihat begitu banyak perahu lain yang datang. Tidak sedikit yang berisi rombongan besar. Misalnya kelompok Harley-Davidson dari Yogyakarta.

Turisme adalah gaya hidup modern. Turis senang melihat objek yang tidak bergerak maju. (*)

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


Afdal Namakule

Tentang Penulis

Sumber:

Berita Terkait

Kaya Lama

13 jam

Lia Ahok

5 hari

Lia Camino

1 minggu

James Today

1 minggu

James Camino

1 minggu

Seragam Baru

1 minggu