Penolakan Gereja di Cilegon Berdasarkan SK Bupati Tahun 1975, Kemenag Bilang Begini...

Penolakan Gereja di Cilegon Berdasarkan SK Bupati Tahun 1975, Kemenag Bilang Begini...

Wali Kota Cilegon dan Wakil Wali Kota Tandatangani penolakan pemhangunan Gereja. (Tangkapan layar video) --

"Jumlah tersebut setara dengan 9,86 persen. Sementara komposisi umat non-muslim secara keseluruhan mencapai 12,82 persen. Bertumpu pada data jumlah penganut agama Kristen di atas, tentu ikhtiyar untuk pendirian rumah ibadah sudah memenuhi kebutuhan nyata," kata Wawan.

Faktor kedua, Wawan mengatakan konsideran 'menimbang' SK Bupati tahun 1975 juga merujuk pada Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 1/BER/mdn-mag/1969 yang keberadaannya sudah dicabut. Aturan itu telah digantikan dengan PMB Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006.

(BACA JUGA:Gereja Dibobol Maling, Tabernakel Emas Rp 29 Miliar Amblas )

(BACA JUGA:Penembakan Terjadi di gereja California AS, Satu Tewas Lima Terluka)

Dalam hukum, ada asas lex posterior derogat legi priori, yakni hukum yang terbaru mengesampingkan hukum yang lama.

"Yang berlaku saat ini adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006," sebut Wawan.

Faktor ketiga, Wawan mengatakan SK Bupati tahun 1975 diterbitkan dalam konteks merespons Perguruan Mardiyuana sebagai bangunan, bukan rumah ibadah. Sementara pada waktu itu, Perguruan Mardiyuana dipergunakan sebagai gereja. 

Oleh karenanya, penganut agama Kristen diarahkan untuk menunaikan ibadah di gereja-gereja yang ada di Kota Serang.

Wawan mengaku sudah bertemu dan mendiskusikan persoalan ini dengan Wali Kota Cilegon pada April 2022. 

Kemenag mengimbau Pemerintah Kota Cilegon memedomani Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006.

"Kami juga mengajak FKUB sebagai lembaga kerukunan umat beragama dan seluruh komponen masyarakat untuk kembali berpegang pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku," tandasnya.

Wawan juga mengharap semua kepala daerah berupaya semaksimal mungkin memenuhi hak-hak konstitusi setiap penduduk, termasuk Hak Beragama dan Berkeyakinan.

"Jadi, tidak ada alasan apapun bagi kepala daerah untuk tidak memfasilitasi ketersediaan rumah ibadat ketika calon pengguna telah mencapai 90 orang," tandas Wawan.

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


Afdal Namakule

Tentang Penulis

Sumber: