News

Pro Kontra Kebijakan Cukai Rokok, Ini Kajian Peneliti

fin.co.id - 2021-11-08 12:55:02 WIB

Pesawat milik maskapai Citilink terdampak abu vulkanik erupsi Gunung Ruang di Bandara Sam Ratuangi, Manado, Sulawesi Utara

  JAKARTA - Peneliti FEB Unpad, Wawan Hermawan berpendapat kenaikan harga cukai rokok di Indonesia selama ini sudah berhasil menurunkan prevalensi merokok, sehingga peningkatan rokok yang terlalu tinggi dikhawatirkan bisa menyebabkan perubahan konsumsi pada jenis rokok yang lebih murah (subtitusi/rokok ilegal). Jika terjadi demikian, maka hal ini bisa meningkatkan prevalensi merokok akibat mengkonsumsi rokok yang lebih murah.Berdasarkan hasil kajiannya, persentase perokok anak usia 10-18 tahun terus mengalami penurunan dari tahun 2018 sampai dengan tahun 2020. Penurunan ini, menurut Wawan, konsisten terjadi untuk kelompok umur 13-15 tahun dan kelompok umur 16-18 tahun.Kelompok umur 10-12 tahun terjadi kenaikan pada tahun 2019 ke tahun 2020, walaupun persentase perokok dari kelompok umur 10-12 tahun sangat rendah dibandingkan dengan kelompok umur lainnya."Terdapat perbedaan antara target pada RPJMN 2020-2024 dan data publikasi BPS. Selain itu perkembangan prevalensi merokok juga menunjukkan sudah terjadi penurunan dari tahun 2018 sampai dengan 2020," kata Wawan, dikutip dari keterangannya, Senin (8/11/2021).BACA JUGA: Rokok Ilegal Rugikan Negara Rp53 T, GAPPRI: Pemerintah Jangan Naikkan Cukai Rokok!Wawan mengatakan prevalensi merokok umur 10-18 tahun di Indonesia sudah turun sampai dengan 3.81 persen untuk perokok tembakau, dan 3.90 persen untuk perokok tembakau dan elektrik."Prevalensi merokok umur 10 tahun ke atas dan 15 tahun ke atas turun dari tahun 2019 dan tahun 2020," ujarnya.Menurut Wawan, peluang merokok untuk kelompok umur 10-18 tahun dan 10 tahun ke atas menurun dari tahun 2019 dan tahun 2020 dilihat dari tahun 2017."Kami memandang pemerintah perlu revisi target indikasi RPJMN untuk target prevalensi merokok umur 10-18 tahun," katanya.BACA JUGA: Kemenkes: Hajar, Naikkan Harga Cukai RokokDirektur eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad mengungkap bahwa terdapat hal yang kontradiktif dimana penerimaan cukai justru turun ketika tarif cukai dinaikkan.Hal ini menunjukkan bahwa tujuan kenaikan tarif cukai untuk menurunkan prevalensi perokok tidak sesuai yang diharapkan.“Namun yang menarik, meski cukai naik ternyata penerimaan lebih rendah. Ada hal yang kontradiktif dari target pemerintah. Ini artinya tidak sesuai dengan yang diharapkan prevalensi sesuai tapi penerimaan malah turun,” katanya.Tauhid merinci, ketika ada kenaikan tarif cukai di tahun 2020 sebesar 23,5 persen, kenaikan cukai justru hanya sebesar 3,8 persen. Angka ini jauh dibandingkan tahun 2019 yang cukainya mengalami kenaikan 13,8 persen.Di sisi lain, Tauhid juga menilai semakin tinggi tarif maka terbukti semakin tinggi peredaran rokok ilegal. Berdasarkan data tahun 2020, kenaikan tarif cukai menyebabkan persentase peredaran rokok ilegal sebesar 4,86 persen. Angka ini naik dari tahun 2019 yang sebesar 3,03 persen.“Karena kalau terlalu tinggi tarif cukai, rokok ilegal akan naik. Bahwa jangan juga terlalu tinggi kalau rokok ilegalnya punya peluang banyak,” lanjutnya.BACA JUGA: IHT Masih “Berdarah-Darah”, Cukai Rokok Diusulkan Tak NaikMenurut Tauhid, kenaikan cukai tahun 2022 perlu mempertimbangkam aspek pemulihan ekonomi akibat pandemi sehingga level moderat tetap diperlukan.Tauhid juga memandang perlu dirumuskan formula baku dengan tetap memperhatikan dimensi pengendalian (kesehatan), tenaga kerja, penerimaan negara, peredaran rokok ilegal dan petani tembakau dengan mempertimbangkan data "update" tiap tahunnya."Konsistensi dalam pelaksanaan penerapan formula/dimensi sehingga dapat memberikan kepastian bagi kesehatan, dunia usaha maupun masyarakat," katanya.Hal senada diungkapkan Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan mengkhawatirkan kondisi produksi rokok bercukai atau legal semakin tergerus. Hal ini disebabkan karena kenaikan cukai yang terlalu eksesif dari tahun ke tahun, selain itu peningkatan tren konsumsi rokok ilegal karena harga rokok bercukai semakin mahal.Ia mencatat, produksi rokok turun 3,56 miliar batang setiap tahun sejak tahun 2013 sampai dengan 2021."Ini berdampak pada industri, petani dan pendapatan negara. Kenaikan cukai itu pada akhirnya rokok ilegal mengambil alih," ujarnya.BACA JUGA: Dilema Cukai Rokok, Antara Kesehatan dan Pendapatan NegaraHenry menyatakan tahun 2020 produksi Sigaret Kretek Mesin (SKM) turun sebanyak 47,6 miliar batang (turun 17 persen) dengan penyerapan turun 47.600 ton tembakau di tahun 2020 pada pabrik SKM.Kemudian, untuk produksi Industri Hasil Tembakau (IHT) tahun 2021 perkiraan Gappri mencapai 297,53 miliar batang dimana turun 10 persen dari tahun ke tahun.Menurutnya hal ini karena kenaikan cukai IHT yang eksesif pada 2020, dimana tarif naik 23 persen dan HJE naik 35 persen. Adapun daya beli masyarakat semakin menurun.Oleh karena itu, GAPPRI meminta tarif industri hasil tembakau (IHT) pada tahun 2022 tidak naik mengingat kondisi IHT saat ini sangat terhimpit dan kritis, sehingga perlu relaksasi minimum 3 tahun bagi dunia usaha IHT untuk pemulihan."Diperlukan roadmap IHT yang berkeadilan dan komprehensif bagi para pemangku kepentingan sebagai peta jalan yang legal dan pasti," pungkasnya. (git/fin)

Admin
Penulis