Petugas astronaut lantas membagikan selimut. Lalu mengantar roti yang ditaruh di kereta dorong. Jumlahnya tak terbatas. Dibagi juga susu impor dari Jerman. Sang ibu menaruh apresiasi tinggi atas susu itu. Orang asing di Tiongkok memang tidak biasa minum susu lokal. Dibagi juga masker dan air dalam botol.
Jam 20.30 (berarti sudah 7 jam setelah mendarat) namanyi dipanggil. Dua orang perawat berpakaian astronaut membawanyi ke belakang gedung. Yakni ke halaman yang dipasangi tenda.
Di situlah dilakukan tes Covid-19. Yakni dengan cara diambil cairan mukus yang ada di dalam hidung --dekat tenggorokan.
Selesai pengambilan mukus sang ibu kembali lagi ke kursi yang bisa disandarkan tadi. Saat inilah sang ibu waswas. Sambil lesehan di kursi ia membayangkan: jangan-jangan hasilnya positif. Jangan-jangan tertular saat di Amerika. Kalau sampai sang ibu positif, berarti akan dipisah dari dua anak kecilnyi.
Panjanglah bayangan sang ibu. Akan di mana anaknyi. Akan di mana pula dia. Bagaimana akan bisa berkomunikasi. Kalut.
Tapi dia juga kagum. Betapa banyak orang yang dites di Tiongkok ini. Beda sekali dengan di Amerika.
Bayangan itu membuat sang ibu tidak bisa tidur. Padahal sudah jam 00.30. Untungnya anak-anaknyi lelap di balik selimut tebal di kursi sandar itu.
Jam 02.30 terdengarlah pengumuman. Semua penumpang bus tadi dinyatakan negatif. Bukan main leganyi.
Mereka pun boleh siap-siap pulang. Baru siap-siapnya. Masih banyak dokumen yang harus diisi dan diperiksa. Termasuk dokumen pernyataan tidak akan keluar dari apartemen selama 14 hari.
Jam 04.30 barulah mereka bisa meninggalkan sport center.
Sang ibu akhirnya bisa tiba di apartemennya sendiri. Di Shanghai.
Tapi jam 9 pagi pintu kamarnyi sudah diketok. Petugas berpakaian astronaut melakukan pengukuran suhu badan. Begitu juga sore hari.
Begitulah ketatnya pemeriksaan di Tiongkok. Sejak dari dalam pesawat sampai tiba di rumah. Itulah mengapa Covid-19 cepat teratasi di sana.
Saat itu, pada tanggal itu, penumpang masih begitu bebasnya keluar masuk Indonesia. (*)