Perbaikan Kebijakan Tata Niaga Timah, Indonesia Bisa Jadi Global Price Setter

fin.co.id - 18/05/2025, 19:38 WIB

Perbaikan Kebijakan Tata Niaga Timah, Indonesia Bisa Jadi Global Price Setter

fin.co.id - Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menyatakan dukungan penuh terhadap langkah perbaikan tata niaga timah, sehingga mampu mendorong Indonesia mengambil peran lebih besar dalam mengendalikan harga timah global.

Dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama PT Timah Tbk dan Holding Industri Pertambangan Indonesia MIND ID, DPR mendorong pembentukan aliansi pengatur harga bersama negara produsen utama timah lainnya.

Secara global, di samping China dan Peru, Indonesia termasuk dalam 3 negara menjadi produsen terbesar komoditas Timah. Oleh karenanya, Indonesia mampu menjadi salah satu global price setter untuk komoditas timah.

Pengaruh Indonesia sangat terlihat pada periode 2024. Produksi timah Indonesia yang menurun dari 65.000 ton pada 2023 menjadi 45.000 ton pada 2024, ikut berkontribusi pada kenaikan harga Timah dunia dari harga rata-rata $26.583/ton pada tahun 2023 menjadi harga rata-rata $31.164/ ton pada tahun 2024.

Ketua Komisi VI DPR RI Anggia Erma Rini menyampaikan Indonesia adalah salah satu pemilik cadangan dan produsen timah terbesar dunia, namun belum memiliki kendali yang cukup terhadap mekanisme penentuan harga pasar internasional.

Dia menilai bahwa kondisi tersebut menjadi sinyal penting bahwa tata kelola dan tata niaga timah harus segera direformasi, termasuk dalam hal penetapan harga.

Menurutnya, PT Timah Tbk bersama Holding Industri Pertambangan Indonesia MIND ID harus menjadi salah satu aktor yang berada di garda terdepan dalam perbaikan tata kelola sehingga mampu mendorong Indonesia mengambil peran lebih besar dalam mengendalikan harga timah global.

“Kita ini pemilik cadangan utama dunia, tapi tidak punya kuasa harga. Dunia sangat bergantung pada kita, tapi kita bukan price setter. Ini harus diubah. Kita ingin Indonesia tidak hanya jadi penyedia bahan baku, tapi juga jadi penentu harga global,” tegas Anggia.

Anggota Komisi VI DPR RI Rieke Dyah Pitaloka berpendapat ketergantungan Indonesia pada bursa timah dunia menjadi salah satu aspek tata niaga yang perlu diperbaiki. Pasalnya, pada bursa timah dunia Indonesia tak memiliki posisi strategis untuk menentukan harga.

“Bursa timah justru tidak memberi keuntungan maksimal bagi PT Timah. Kita perlu mengevaluasi ulang kebijakan itu agar Indonesia bisa menentukan nilai tambah dari sumber daya alamnya sendiri,” jelas Rieke.

Lebih lanjut, Anggota Komisi VI DPR RI Herman Haeron menambahkan hilirisasi terintegrasi hingga sektor industri manufaktur Indonesia merupakan aspek yang perlu diperkuat.

Indonesia harus mampu memastikan produksi timah dapat terserap lebih baik oleh pasar dalam negeri, sehingga membantu menstabilkan harga di pasar global.

Herman juga menilai, kemitraan internasional dalam Langkah ini juga perlu dilakukan.

“Kita harus berpikir global. Kalau perlu, PT Timah harus bangun kemitraan strategis dengan perusahaan-perusahaan besar di Cina atau Korea Selatan yang menggunakan timah untuk industri elektronik. Itu cara memperkuat posisi tawar kita,” kata Herman.

Sahroni
Penulis