Nyesal Tak Bisa Ngaji, Sonaun: Saya Bersyukur Bisa Berangkat Haji

Nyesal Tak Bisa Ngaji, Sonaun: Saya Bersyukur Bisa Berangkat Haji

Sonaun, merasa bersyukur dapat menunaikan ibadah haji tahun 2022-ist-kemenag.go.id

Sonaun termasuk petani yang beruntung, karena 1 hektar sawah dari 5 hektar yang digarap punya sendiri. 

"Yang setengah hektar warisan orang tua, setengahnya lagi saya beli sendiri, dari jual sapi pejantan tiga ekor, gemuk-gemuk. Awal tahuan 1990an, saya jual 2 juta dan hasilnya dibelikan sawah setengah hektar," ungkapnya.

Sonaun saat masa anak-anak adalah seorang penggembala. Menginjak remaja, Sonaun mulai membantu ayahnya di sawah. 

"Yang bantu bapak di sawah cuma saya, karena kakak saya perempuan, sementara empat adik saya masih kecil," katanya.

Sonaun mengaku pengahasilannya dari dunia pertanian selama setahun sekitar Rp250 juta: keuntungan Rp100 juta, biaya produksinya Rp150 juta. 

"Penghasilan saya Rp250 juta setahun itu rata-rata ya, jika sedang panen bagus dan harganya bagus," katanya.

Ikhtiar Sonaun di bidang pertanian tidak cuma menghantarkannya ke tanah suci menunaikan rukun Islam kelima, tapi juga berhasil membuat anak-anaknya mengenyam pendidikan lebih baik darinya yang cuma lulusan SD, begitu juga istri, cuma lulusan SD. Selain sekolah, anak-anaknya juga mendapatkan pendidikan agama di pesantren.

Anak pertamanya (Siti Mutmainnah) dan anak keduanya (Muhammad Yusuf) alumni Pesantren An-Nur Mojolawaran, Gabus, Pati. Pesantren ini didirikan oleh KH Nur Kholis. Anak terakhirnya, Abdul Hidayat, masih nyantri di Pesantren Al-Kholil, Pasuruan, Kayen, Pati. 

"Awalnya di Kudus, tapi musim corona saya pindah yang dekat rumah saja," katanya.

Sebetulnya, yang memberi penjelasan lengkap anaknya nyantri di mana dan kiainya siapa bukan Sonaun, tetapi teman-teman sekamarnya di pemondokan Madinah. Sonaun sendiri antara ingat dan lupa atau karena tidak akrab dengan nama-nama pesantren. 

Untung saja, empat temannya mengerti pesantren yang dimaksud Sonaun. Empat temannya bernama Mat Sholeh (56 tahun), Arip Suparjo (54 tahun), Sudarmin (61 tahun), dan Sagiman (61 tahun). Kecuali Sagimin yang sedang istirahat, obrolan di kamar pemondokan dengan Sonaun berjalan gayeng dan akrab. Mereka saling menimpali dengan santai. 

"Saya tidak bisa merokok di dalam," kata salah satu dari mereka disambut tawa.

Meminjam istilah Clifford Geertz, Sonaun sekarang telah menjadi santri seutuhnya, yakni telah melaksanakan lima rukun Islam. Yang dulu tidak sembayang, sekarang sembayang, yang dulu tidak puasa, sudah puasa. Bahkan saat jelang umur 50 aktif di pengajian Yasinan dan Tahlilan.

Lebih dari itu, anak-anaknya telah menyandang nama dari bahasa Arab semua, bahkan mengenyam pendidikan pesantren. 

"Yang kasih nama anak-anak saya sendiri, persetujuan istri." Kisah perubahan dari "abangan" menjadi "santri" tidak berhenti sampai situ. Anak pertamanya, perempuan, bernama Siti Mutmainnah (L. 1993) telah menjadi guru di TPQ dan suaminya guru agama di Pesantren An-Nur.

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


Gatot Wahyu

Tentang Penulis

Sumber: