Ancaman Banjir di Musim Kemarau

Ancaman Banjir di Musim Kemarau

JAKARTA - Meski sebagaian besar wilayah Indonesia telah memasuki musim kemarau, namun ancaman banjir masih menghantui. Terutama di wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Kepala Pusat Layanan Informasi Iklim Terapan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Nasrullah mengatakan wilayah Sulawesi Tengah dan Papua masih berpotensi banjir dengan dengan peluang kategori tinggi pada dasarian II Juli. "Berdasarkan prakiraan curah hujan probabilistik BMKG, beberapa wilayah seperti, sebagian Sulawesi Tengah dan Papua berpotensi banjir dengan dengan peluang kategori 'tinggi'," katanya dalam keterangannya, Senin (20/7).

BACA JUGA: BNPB Siagakan Helikopter untuk Tangani Banjir Bandang Luwu Utara

Pada dasarian III atau 10 hari terakhir di Bulan Juli, potensi banjir dengan kategori menengah akan terjadi di sebagian Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. "Pada Dasarian III, potensi banjir dengan peluang kategori 'menengah' diprediksi terdapat di sebagian Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimatan Utara, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Maluku, Maluku Utara , Papua Barat dan Papua," ungkapnya. Sedangkan pada dasarian I atau sepuluh hari pertama di bulan Agustus, sebagian Papua Barat berpotensi banjir kategori menengah. "Prakiraan tersebut telah di-overlay-kan pada peta daerah rawan banjir yang dibuat Badan Informasi Geospasial (BIG) dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR)," katanya.

BACA JUGA: Korban Banjir Butuh Air Bersih

Ditambahkan Deputi Klimatologi BMKG, Herizal, beberapa daerah tersebut bahkan berpeluang mengalami curah hujan dengan kriteria Tinggi hingga Sangat Tinggi dalam empat bulan ke depan atau hingga Oktober. "Potensi itu didasarkan pada kondisi suhu muka air laut perairan Indonesia yang masih cukup hangat, sehingga mensuplai cukup uap air ke atmosfer akibat proses penguapan," katanya. Sementara itu, aktivitas gelombang ekuator tropis (Gelombang Kelvin dan Rossby) serta aliran massa udara Samudera Pasifik yang masuk ke Indonesia, berpotensi menimbulkan peningkatan aktivitas pembentukan awan konvektif di Indonesia sebelah utara ekuator, terutama di Indonesia bagian timur dan tengah. Sedangkan daerah yang memasuki musim kemarau seiring dominannya sirkulasi angin Monsun Australia yang bersifat kering dan bertiup dari arah Timur-Tenggara, yaitu Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bali, Jawa Timur, sebagian besar Jawa Tengah dan Jawa Barat, DKI Jakarta bagian barat dan timur, Pesisir utara Banten, Pesisir timur Jambi, Riau dan Aceh, Sumatera Utara bagian tengah, utara dan timur. "Serta Kalimantan Selatan bagian barat, Kalimantan Tengah bagian timur, Sulawesi Barat bagian selatan, Pesisir barat Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara bagian selatan," bebernya. Daerah lainnya, yaitu Maluku bagian barat, Papua Barat bagian timur, serta Papua bagian tengah, selatan dan utara.

BACA JUGA: Banjir Bone Bolango, 2.504 Rumah Teredam dan 400 Jiwa Mengungsi

Dari wilayah-wilayah yang telah memasuki musim kemarau tersebut, 30 persen daerah Zona Musim telah mengalami kondisi kering berdasarkan indikator Hari Tanpa Hujan berturut-turut (HTH) atau deret hari kering bervariasi antara 21 sampai 30 hari, 31 sampai 60 hari, dan di atas 61 hari. "HTH terpanjang terjadi di Oepoi, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur selama 70 hari. Sementara itu, prediksi Hujan BMKG hingga sembilan bulan ke depan menunjukkan musim kemarau secara umum akan berlangsung hingga Oktober 2020," ungkapnya. Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menegaskan dua kondisi yang berbeda di wilayah Indonesia merupakan sebuah keunikan. Di satu sisi (wilayah Indonesia bagian selatan) memasuki musim kemarau, namun di wilayah ekuator masih berpotensi curah hujan tinggi. "Keunikan ini karena wilayah Indonesia berada di sekitar garis ekuator serta diapit oleh dua Samudera dan dua Benua besar, menjadikan Indonesia yang merupakan negara kepulauan, memiliki dinamika cuaca dan iklim yang khas," katanya. Keunikan itu salah satunya terlihat pada kondisi cuaca atau iklim yang kontras. Hal tersebut membuat sejumlah wilayah kekeringan, sementara hujan ekstrem justru mengguyur beberapa wilayah lainnya.

BACA JUGA: Sungai Calendu Meluap, Tujuh Kelurahan Terendam Banjir

"Contohnya, pada saat musim kemarau melanda hampir di sebagian besar wilayah Indonesia bagian selatan, wilayah Indonesia bagian tengah mulai Sulawesi Tengah, Maluku hingga Papua bagian utara malah berpotensi mendapatkan curah hujan relatif tinggi dalam dua dasarian (20 hari) ke depan," ujar Dwikorita. Berdasarkan hasil pemantauan BMKG, musim kemarau masih terus akan berlanjut hingga Oktober nanti. Tidak hanya itu, Dwikorita juga meminta masyarakat untuk mewaspadai gempa yang tiap tahun frekuensinya terus meningkat. Dijelaskannya, sebelum 2016 kejadian gempa rata-rata hingga 4.000-5.000 kali, lalu meningkat 7.000 kali setahun kemudian. "Sejak 2018 hingga sekarang meningkat hingga lebih dari 11 ribu kali setiap tahunnya," katanya. Dia menjelaskan peningkatan aktivitas tektonik ini bisa dipengaruhi perubahan iklim. Namun data BMKG hanya mencatat pada kejadian kegempaan sampai pada 200 tahun lalu. Menurut mantan rektor UGM Yogyakarta itu perlu analisis mendalam untuk melihat peningakatan jumlah kejadian gempa bumi. Dia menilai perlu dukungan kelengkapan data dan kerja sama banyak pihak.

BACA JUGA: Jembatan Diterjang Banjir, Warga Terisolasi

Pihaknya mengaku telah melaporkan catatan itu ke Presiden Joko Widodo dan melakukan minimalisasi risiko dampak gempa bumi dan tsunami yaitu dengan peremajaan alat deteksi tsunami tak layak pakai. "Sekarang sedang proses revitalisasi dan pengembangan" jelasnya. Dia juga menyebut kemampuan alat deteksi tsunami juga tidak sesuai dengan kebutuhan BMKG. Sebab alat hanya mendeteksi gempa akibat aktivitas tektonik dan bila terjadi aktivitas vulkanik, seperti kejadian longsor di bawah laut justru tidak terdeteksi. "Teknologi yang ada sampai hari ini didesain berdasarkan bencana tsunami di Aceh yang diakibatkan kejadian gempa tektonik, namun untuk kejadian gempa non tektonik, sistem itu tidak dirancang," ungkapnya. Menurutnya kejadian tsunami di Banten beberapa waktu lalu akibat erupsi Gunung Krakatau menjadi pelajaran berharga. Ia menilai BMKG bila memasang alat deteksi tsunami tidak hanya pada kejadian gempa tektonik, namun juga kejadian non tektonik. BMKG bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan beberapa lembaga lain tengah mengembangkan peralatan Earthquake Early Warning System atau pengembangan sistem peringatan dini gempa bumi. "Rencananya sensor alat deteksi gempa ini dipasang di jalur megatrust. Sebarannya mengikuti megatrust sekitar 400-an sensor yang diperlukan," ujarnya.(gw/fin)

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


admin

Tentang Penulis

Sumber: