Tata Kelola Subsidi LPG Bermasalah

Tata Kelola Subsidi LPG Bermasalah

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan kajian terhadap sistem tata kelola program LPG 3 kilogram (kg). Dalam penelitian ini, KPK memetakan potensi kerawanan dan permasalahan dalam program, serta merumuskan langkah-langkah strategis dan operasional dalam program LPG bersubsidi. "Pada rentang Januari-Juli 2019 KPK telah melakukan kajian sistem tata kelola program LPG 3 kg," ujar Pelaksana Tugas Juru Bicara bidang Pencegahan KPK Ipi Maryati Kuding melalui keterangan tertulis, Kamis (8/10). Permasalahan ditemukan pada aspek perencanaan. KPK menemukan ketidakjelasan kriteria pengguna LPG bersubsidi. Selain itu, kriteria spesifik masyarakat miskin hingga jenis usaha mikro yang dapat menerima subsidi juga tidak memiliki kejelasan. "Penentuan kriteria usaha mikro diserahkan ke pangkalan," kata Ipi.

BACA JUGA: Makan Bareng Rizky Febian, Nathalie Holscher: Ini yang Aku Pengen

Selain itu, kata Ipi, KPK menemukan tidak akuntabelnya penetapan kuota penerima LPG bersubsidi. Usulan dari daerah tidak didasarkan pada data calon penerima yang valid. Misalnya, usulan yang diajukan provinsi selalu meningkat, padahal data BPS menunjukkan penurunan jumlah penduduk miskin di provinsi tersebut. "Pada tahun 2018, dari 404 kabupaten/kota hanya 67 yang mengajukan usulan penerima subsidi dan diterima oleh Kementerian ESDM," ucap Ipi. Selain pada aspek perencanaan, KPK turut menemukan permasalahan dalam aspek pelaksanaan program LPG bersubsidi. Yaitu lemahnya sistem pengawasan distribusi. KPK menyebut, kurangnya sosialisasi dari Pertamina dan agen menyebabkan banyaknya pangkalan yang tidak mengisi logbook dengan benar. Selain itu, sanksi yang diberikan Pertaminan kepada agen juga minim.

BACA JUGA: Menkop dan UKM: UU Cipta Kerja Permudah Pengembangan KUMKM

"Minimnya sanksi dari agen ke pangkalan untuk yang menjual di atas harga eceran tertinggi (HET) atau logbook tidak sesuai," ungkap Ipi. Lemahnya kendali dalam implementasi penetapan HET juga ditemukan dalam kajian tersebut. KPK menemukan, tidak ada ketentuan bagi pemerintah daerah untuk mengatur HET LPG bersubsi. Kementerian ESDM pun tidak mengevaluasi HET pemerintah daerah. "Agen jarang melakukan pengawasan ke pangkalannya, seperti Pertamina tidak selalu mengawasi agennya; Dinas Perdagangan Kab/Kota tidak mempunyai wewenang untuk menindak, hanya bisa memberikan himbauan; harga di pangkalan lebih tinggi dari HET; dan HET tidak dievaluasi secara berkala," kata Ipi. Terakhir, permasalahan juga ditemukan menyangkut tidak operasionalnys pengaturan zonasi distribusi LPG Public Servis Obligation (SPO). Menurut Ipi, pembagian alokasi ditentukan oleh Kementerian ESDM dengan memperhitungkan kebutuhan per kabupaten/kota sebagaimana usulan.

BACA JUGA: Gelar Longmarch, Massa Tolak UU Ciptaker ‘Lumpuhkan’ Salemba-Kramat

Penentuan alokasi per daerah tersebut berdampak pada kesulitan di level operasional, kekurangan di suatu daerah tidak dapat dipenuhi oleh daerah lain yang kelebihan walaupun berdekatan/berbatasan, dan kelebihan di suatu daerah tidak dapat dimanfaatkan oleh daerah lain. "Dampaknya, terjadi manipulasi pengisian logbook. Semakin banyak persentase ke pengecer, maka harga semakin tidak terkendali. Ada indikasi pembelian rutin dan jumlah banyak oleh UMKM/RT untuk dijual kembali," tandas Ipi. Atas kajian tersebut, KPK berkesimpulan upaya pemerintah untuk mengonversi penggunaan minyak tanah menjadi LPG dengan subsisi harga komoditas terbukti tidak efektif. Sebab, anggaran subsidi meningkat melebihi subsisi minyak tanah. Subsidi harga LPG 3 kg juga bermasalah mulai dari perencanaan, operasional, pengendalian, dan pengawasan. Mekanisme pengendalian melalui distribusi tertutup pun terbukti gagal.

BACA JUGA: Pergi ke Luar Rumah, Kartika Putri: Habib Usman Bawa Pulang Tiga ‘Janda’

Oleh karena itu, KPK merekomendasikan pemerintah dan PT Pertamina (Persero) untuk mengevaluasi Perpres Nomor 38 Tahun 2019 terkait perluasan penggunaan LPG bersubsidi. Pemerintah juga diminta mengubah kebijakan dari subsidi harga komoditas ke Pertamina menjadi bantuan langsung (targeted subsidy) dalam bentuk cash transfer dengan utilisasi Basis Data Terpadu (BDT) atau sekarang dikenal dengan DTKS yang memiliki NIK sebagai target penerima subsidi energi. "Perbaikan database turut diperlukan untuk target penerima usaha kecil menengah (UKM)," kata Ipi. Sementara itu, Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengatakan, kajian KPK mengenai LPG bersubsidi untuk orang miskin dan UMKM di lapangan tidak tepat sasaran. LPG melon itu ternyata tidak dinikmati oleh masyarakat miskin. "Karena kajian KPK menemukan di lapangan gas melon itu tidak secara khusus dinikmati oleh orang miskin," kata Pahala kepada wartawan. Pahala menjelaskan, program subsidi diserahkan kepada Pertamina sebagai yang memproduksi dan Kementerian ESDM sebagai pihak yang memasarkan. Pada praktiknya, kata dia, tata niaga pemasaran elpiji 3kg di lapangan tak berjalan sebagaimana mestinya. Menurutnya, kondisi distribusi gas 3kg untuk masyarakat miskin seperti yang direncanakan awal tidak pernah terwujud. "Muncul pengecer (gas) melon yang keliling kampung. Ini kan enggak bisa diatur harganya. Lalu di tingkat agen-sub agen daftar pembeli (gas) melon dibikin aja namanya fiktif, sekadar memenuhi administrasi bahwa (gas) melon sudah didistribusikan secara khusus," jelasnya. (riz/gw/fin)

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


admin

Tentang Penulis

Sumber: