Panggung Besar

Panggung Besar

Ketua Umum Partai Perindo, Hary Tanoesodibjo--Disway

Lagi, tentang Komeng. Sampai pagi ini, ia telah meraup 1,5 juta suara. Jauh di atas Aanya Rina Casmayanti (686 ribu) atau Jihan Fahira (598 ribu). Fenomena Komeng (53), menurut saya, lahir dari kejujuran, apa adanya. Tanpa amplop. Tanpa janji muluk. Foto Komeng adalah daya tarik tersendiri: wajah Komeng sehari-hari ketika membanyol, bahkan saat tidak membanyol. Dan, itu bekerja: mengundang kehendak untuk mencoblosnya. Foto itu dibuat di jalan, bukan di studio foto. Menggunakan ponsel, sekali jepret, tanpa menggunakan "sotosop". Kepada staf KPU, ia sampai tiga kali bertanya apakah foto itu bisa dipakai. Staf KPU tiga kali pula bilang tidak masalah. Selain fotonya yang sekali lihat langsung bisa dikenali, nama Alfiansyah Komeng juga langsung menancap di benak pemilih. Tak ada keraguan, ini Komeng yang itu. Nama sebenarnya Alfiansyah Bustami. Sangat berbeda dari nama pasar Komeng. Tak banyak yang kenal. Bahwa di surat suara namanya berubah menjadi Alfiansyah Komeng, tentu sudah melalui proses legal. Pada Mei 2023, ia mengajukan permohonan perubahan nama ke PN Cibonong. Kabul. Selebihnya adalah popularitas. Siapa yang tak kenal Komeng. Sapa yang tak ingat wajahnya yang sangat komikal. Siapa yang sering tak sadar berkata "Uhuy". Memang Komeng tak perlu banyak modal untuk berkampanye. Tapi, pria kelahiran 25 Agustus 1970 ini telah berinvestasi lebih dari 30 tahun sebagai pelawak. Menghibur orang. Tanpa sensasi, tanpa skandal. Spontan. Uhuy.*

djokoLodang

--o-- Untung ada quick count. Justru quick count bisa mengontrol KPU: dari segi kecepatan. ----tulis Abah DI. Mengontrol. Dari kata dasar kontrol. Serapan kata bahasa Inggris "control",yang diberi awalan me- Ada yang tanya: Apa sinonim/bahasa Indonesianya KONTROL? Ada yang menjawab: KEMARLUAN. --jL--

Lagarenze 1301

@djokoLodang: Duluu, sewaktu tinggal di Batam, saya suka sekali makan sate Padang. Waktu itu, di depan Hotel Nagoya ada area tempat berjualan kuliner. Salah satunya sate Padang. Yang sering saya santap, daging sapi potongan kecil. Kabarnya menggunakan 17 bumbu kas Minang. Satu porsi sate Padang berapa tusuk? Di RM Sederhana 10 tusuk. Di Mak Itam juga 10 tusuk. Entah kalau di tempat lain 8 tusuk. :)

Lagarenze 1301

Setelah pencoblosan, Ali bersama keluarga besarnya makan siang di resto padang. Selesai makan, Ali memanggil pelayan dan minta makanannya dihitung. Pelayan itu hanya melihat sejenak lalu menyebut harga: "Rp 1 juta." Ali: "Bagaimana cara hitungnya, kamu cuma melihatnya beberapa detik." Pelayan: "Tenang, Pak. Kalau tidak percaya silakan ke kasir." Ali pun menuju kasir. Ia menyebut semua jenis makanan dan porsinya. Kasir memencet-mencet kalkulator lalu menyebut harga: "Rp 950.000." Ali: "Lho, kok beda 50 ribu. Tadi pelayan di sana bilang satu juta." Kasir: "Oh, iya, Pak. Yang di sana itu QUICK COUNT, yang di sini REAL COUNT. Memang ada margin error sedikit."

Mirza Mirwan

Ada 31 negara yang pernah uji coba dengan e-voting. Tapi tak lantas bisa memberikan suara dengan laptop atau hp, melainkan harus ke TPS dan memberikan suaranya lewat EVM -- electronic vote machine. Dari 31 negara itu hanya 4 negara yang memberlakukan e-voting di seluruh TPS, yaitu India, Brazil, Bhutan dan Venezuela. Ada 11 negara yang memberlakukannya di beberapa TPS saja, tidak menyeluruh. Yang masih dijadikan pilot ujicoba ada 5 negara. Lalu 8 negara pernah ujicoba dan tak diteruskan. Sisanya, 3 negara: Jerman, Belanda, dan Paraguay, pernah menggunakan di seluruh TPS, tetapi sekarang kembali menggunakan kertas suara (paper ballot). AS yang di sana bercokol beberapa perusahaan IT terkenal saja masih setia dengan paper ballot.

Mirza Mirwan

Quick Count, di Barat ada yang menyebutnya PVT (Parallel Vote Tabulation), itu berbeda dengan polling (jajak pendapat). Dalam polling, si A yang yang dijadikan sampel, bilang ia akan memilih Paslon 02. Tapi jawaban si A itu boleh jadi berbeda dengan pilihannya pada saat penyoblosan. Sementara quick count/PVT, sampelnya diambil dari TPS -- sudah jadi pilihan pasti para pemilih. "Lha tapi sampelnya hanya 2000 TPS dari 823.000-an TPS di seluruh Indonesia dan luar negeri, lho, Pak," kata Mas Sekcam. Ia masih saja heran kenapa hasil quick count yang sudah-sudah kok hampir sama dengan hasil resmi KPU. Ilustrasinya begini. Seorang dokter mengambil sekian cc sampel darah pasien, diperiksa di laboratorium. Dari pemeriksaan itu bisa diketahui bahwa si pasien mengidap penyakit anu. Atau ahli kimia mengambil sampel senyawa, memeriksanya di laboratorium, lalu menyimpulkan sifat senyawa tersebut. Dalam hal quick count pengambilan sampel TPS harus secara acak: misalnya TPS 06, 19, 27, dst. Bukan mengambil sampel di TPS yang kebanyakan pemilihnya cenderung mengidolakan paslon tertentu. Kalau model yang terakhir sudah pasti hasilnya di kemudian hari beda jauh dengan hasil resmi versi KPU. Tapi quick count juga ada margin of error. Hanya saja tak sampai lebih dari 1%. Dengan tingkat kepercayaan 95%, misalnya, kalau diulang 95 kali quick count hasil akhirnya, meski ada perbedaan, tak akan lebih dari 1%. "Owalaah...gitu, toh!" kata Mas Sekcam.

yoming AFuadi

Hari ini tumben sekali, kolom komen langsung tersedia tanpa harus klik login. Namun sayang suasana ngetik papan keyboard seperti main rodeo masih tetap terjadi dan berlangsung. Untuk menyelesaikan ketikan satu baris mesti ngulang, ngedit berkali-kali lebih tiga kali, karena kursornya itu kedip2 tidak stabil, sdh ngetiknya pelaaan sekali tiba2 lompat ke depan, ke tengah, bahkan ke baris diatasnya, apalagi kalau ngetiknya dengan metode 10 jari dg kecepatan 120 kata permenit, hasilnya jadi kode sandi yg paling rumit. Entah sampai kapan permasalahan ini akan berlangsung, apakah paralel dg hasi penlghitungan kpu yg jujur dan adil, yg mana hal itu hanya rumput yg bergoyang yg tahu jawabannya.

ahmad faqih

Pemilu 2024 semakin menegaskan kesaktian Jokowi. Sosok yg bukan pemilik partai, bukan konglomerat juga bukan ber background militer, dapat membuat orkestrasi politik yg begitu menakjubkan. Hanya saja masih ada 2 challenge dr kesaktian tersebut yakni (1) kesaktian Jokowi sepertinya tak begitu mujarab bagi PSI (2) Kesaktian Jokowi sepertinya gagal mereduksi potensi oposisi, dg catatan PDIP, Nasdem, PKB dan PKS tak tergiur iming2 kursi. Wallahu a'lam.

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


Ari Nur Cahyo

Tentang Penulis

Sumber: