Tidak Efektif Dorong Capaian EBT 2025, Revisi Permen Soal PLTS Atap Perlu dikaji Ulang!

Tidak Efektif Dorong Capaian EBT 2025, Revisi Permen Soal PLTS Atap Perlu dikaji Ulang!

Teknisi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) tengah melakukan quality control di pabrik PT Sanghiang Perkasa (KALBE Nutritionals) Cikampek, Jawa Barat, Jumat (8/7/2022). PLTS dengan kapasitas produksi 2,1 GWh ini mampu mengurangi emisi karbon sebesar 2.-dok-BNI

BACA JUGA:

“Disini amanatnya adalah dalam tiga bulan PLN wajib menyusun peta jalan dan kemudian setelahnya PLN wajib mengikuti yang dibuat dengan tujuan terbangunnya sistem PLTS atap. EBTKE sendiri sudah memiliki aplikasi dan sudah digunakan oleh wilus (wilayah usaha) dimana disitu bisa di track permohonan masyarakat," ujarnya. 

Di acara yang sama, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN),  Herman Darnel Ibrahim, mengatakan  melihat revisi Permen PLTS Atap ini masih menyisakan masalah baru bagi para stakeholder. 

Dia mencontohkan dengan tidak adanya ekspor listrik PLTS Atap ke PLN yang dihitung, walaupun kapasitasnya dibebaskan, daya tariknya bagi pelaku akan turun. Hal itu disebabkan  walaupun kapasitasnya bebas tapi tetap saja dibatasi menjadi sebanyak yang digunakan. 

“Tentu hal ini tidak akan menggenjot (capaian target EBT Pemerintah). Padahal kalau kita mau meningkatkan bauran energi terbarukan, itu yang paling bisa diandalkan dengan cepat ya PLTS Atap ini, ujarnya .

Jadi, menurutnya, peraturan PLTS Atap ini harus benar-benar diuji dulu secara simulasi, apakah dengan peraturan ini serta-merta investasi di bidang PLTS Atap ini baik oleh industri dan bukan industri itu bisa menarik.  

“Jadi, sebenarnya perbaikan aturan PLTS Atap ini seharusnya dibuat dengan sungguh-sungguh kalau mau mengembangkan energi terbarukan khususnya energi Surya,” ujar mantan direktur Transmisi dan Distribusi PLN tersebut.

BACA JUGA:

Herman menambahkan, sebetulnya peraturan yang diperlukan adalah harga tetap sama dengan 1 banding 1, jadi kalau ia membeli dari PLN misalnya harganya 1500 ya ekspornya dibayar 1500 juga. 

Tetapi yang perlu dibatasi adalah jumlah energi boleh diekspor. “Jadi kalau dia bikin impor 300 dia konsumsi 400,  dia ekspor 100, dia bayarnya 200. Jadi ada penurunan pembayaran. Kalau tidak boleh ekspor berarti dia kan harus atur kapasitasnya, ya walaupun sebenarnya kapasitas tidak dibatasi itu seperti daya tarik semu gitu loh," tuturnya.

Coal Advocacy Manager Center of Economic and Law Studies (Celios) Wishnu Try Utomo,  yang juga menjadi narasumber di acara ini menyampaikan sepakat dengan apa yang disampaikan Herman dari DEN. 

Dia juga tidak setuju dengan adanya penghapusan net metering. Menurutnya, ekspor listrik dari PLTS Atap ke jaringan PLN itu harus bisa menjadi pengurangan tagihan.

Begitu juga dengan  waktu pengajuan ijin pemasangan. Menurutnya seharusnya tidak dibatasi hanya bulan Januari dan Juli saja. “Itu waktunya sedikit sekali. Saya juga rekomendasi untuk perlu studi lebih lanjut terkait revisi Permen PLTS Atap ini,” ucapnya. 

Narasumber lainnya, Bambang Sumaryo, Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan dan Regulasi, Teknologi, dan Pengembangan Industri Surya, Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) menyampaikan masyarakat pada umumnya sangat picky (pemilih). 

BACA JUGA:

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


Sigit Nugroho

Tentang Penulis

Sumber: