Rambut Putih

Rambut Putih

Presiden Rusia Vladimir Putin.-Alexander Kazakov, Sputnik, Kremlin Pool Photo via AP-

Waktu itu saya masih wartawan Jawa Pos. Ke Leningrad dalam rombongan Presiden Soeharto. Tidak bisa ke mana-mana. Terikat aturan kepresidenan. Saya hanya bisa curi waktu menjelang magrib. Ke sebuah taman besar di pusat kota Leningrad. Taman itu penuh dengan orang main catur. 

Hampir semua pengunjung terlihat membawa kotak catur. Mereka mondar-mandir mencari lawan. Beberapa orang menawari saya bertanding dengannya. Pakai bahasa Rusia. Saya menolak pakai bahasa Jawa kromo. Sama-sama mengerti. Saya tidak jelaskan bahwa mereka bisa kalah melawan juara se-kecamatan Bendo, Magetan.

Yang menarik dari penjelasan Putin di depan 25 komandan Wagner itu adalah: Putin sangat menghargai tentara swakarsa. Mereka, katanya, berperang dengan kemuliaan, kebanggaan dan kehormatan. Bukan karena status dan bayaran. Mereka adalah pahlawan-pahlawan Rusia yang siap membela negara sampai titik darah penghabisan. Rusia harga mati. Bukan karena status, pangkat, gaji dan fasilitas.

BACA JUGA:

Bahwa 25 komandan lapangan itu menganggukkan kepala, kata koran itu, karena selama ini pun si Rambut Putihlah yang jadi komandan Wagner sebenarnya. Mereka memanggil si Rambut Putih dengan kode militer: Sedoi. Itu bisa berarti si Rambut Putih, bisa juga berarti lambang keteladanan dalam budaya St Petersburg.

Si Sedoi sudah malang melintang sejak muda. Ia ikut terjun di perang pertama Afghanistan. Tahun 1980-an. Di zaman Perang Dingin. Yakni ketika Uni Soviet ingin menarik Afghanistan ke blok Soviet. 

Amerika Serikat tidak rela. 

Amerika mendalangi gerakan perlawanan di Afghanistan. Amerika membentuk kelompok pejuang Mujahidin. Kelompok keras dalam beragama. Sangat anti komunis. 

Mujahid dari berbagai negara pun  ikut berjihad bersama Mujahidin di Afghanistan. Termasuk kelompok Osama bin Laden. Mujahidin berhasil mengalahkan Soviet. Lalu membentuk pemerintahan Islam yang keras.

BACA JUGA:

Ketika Mujahidin berperang melawan Soviet itulah saya ikut rombongan Presiden Soeharto ke Tashkent, Samarkand, Moskow, dan Leningrad.

Waktu bermalam di Tashkent –sebelum ke makam Imam Bukhori di Samarkand– pintu kamar hotel saya diketok tiga kali. Tengah malam. Saya agak takut. Ini di negara komunis. Tapi saya buka juga pintu kamar.

"Asalamualaikum," kata salah satu dari dua orang itu. Salam itu diucapkan sangat lirih. Seperti setengah rahasia.

Saya ragu. Ini negara komunis. Kok ada yang mengucap salam sangat fasih. Mereka pakai penutup kepala gaya Afghanistan. Atau gaya Asia Tengah. Bajunya panjang khas orang sana. Lusuh. Kumuh. Mata tajam. Kumis lebat. Apalagi jenggot dan jambangnya. Mereka setengah memaksa masuk ke kamar.

Mereka pun duduk di tempat tidur saya. Mereka menjelaskan entah dalam bahasa apa. Tapi saya dengar ada kata-kata mujahidin berkali-kali. Ada juga beberapa kata dalam bahasa Inggris. Exchange. Dolar. Rubel. Good price.

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


Tiyo Bayu Nugro

Tentang Penulis

Sumber:

Berita Terkait

DK Jakarta

1 minggu