Rayakan Hari Angklung Sedunia, Simak Perjalanan Alat Musik Tradisional Indonesia yang Jadi Warisan Dunia

Rayakan Hari Angklung Sedunia, Simak Perjalanan Alat Musik Tradisional Indonesia yang Jadi Warisan Dunia

Ilustrasi Anglung-@angklungudjo-Instagram

BACA JUGA:Kenapa 12 November Diperingati Hari Ayah? Simak Alasannya

Secara etimologis angklung berasal dari kata 'angka' yang berarti nada dan 'lung' yang berarti pecah. Jadi, angklung merujuk pada nada yang pecah atau tidak lengkap.

Bentuk angklung terdiri dari dua atau lebih batang bambu dalam berbagai ukuran sesuai dengan kebutuhan tinggi rendahnya nada yang dibentuk menyerupai alat musik calung. 

Dilansir Disdik Purwakarta, Menurut Dr. Groneman, Angklung telah ada di Nusantara, bahkan sebelum era Hindu. Menurut Jaap Kunst dalam bukunya Music in Java, selain di Jawa Barat, Angklung juga bisa ditemui di daerah Sumatra Selatan dan Kalimantan. 

Di luar itu, masyarakat Lampung, Jawa Timur dan Jawa Tengah juga mengenal alat musik tersebut.

BACA JUGA:Cara Melihat Total Belanja di Shopee Selama Setahun, Mudah Banget

Di lingkungan Kerajaan Sunda pada abad ke 12 dan abad ke 16, Angklung dimainkan sebagai bentuk pemujaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Sri (dewi padi/dewi kesuburan).

Selain itu, konon Angklung juga merupakan alat musik yang dimainkan sebagai pemacu semangat dalam peperangan, sebagaimana yang diceritakan dalam Kidung Sunda.

Dua tokoh yang berperan dalam perkembangan Angklung di Jawa Barat adalah Daeng Soetigna sebagai Bapak Angklung Diatonis Kromatis dan Udjo Ngalagena yang mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog dan salendro.

Pada tahun 1938, Daeng Soetigna, menciptakan angklung dengan tangga nada diatonis.

BACA JUGA:Lagi Cari Pijaman Dana Online Terpercaya? Berikut Beberapa Aplikasi Terdaftar OJK

Angklung inovasi Daeng Sutigna tersebut berbeda dengan angklung pada umumnya yang berdasarkan tangga nada tradisional pelog atau salendro.

Inovasi inilah yang kemudian membuat Angklung dengan leluasa bisa dimainkan harmonis bersama alat-alat musik Barat, bahkan bisa disajikan dalam bentuk orkestra. 

Sejak saat itu, Angklung semakin populer, hingga akhirnya PBB, melalui UNESCO, pada November 2010, mengakuinya sebagai warisan dunia yang harus dilestarikan.

Setelah Daeng Soetigna, salah seorang muridnya, Udjo Ngalagena, meneruskan usaha Sang Guru mempopulerkan Angklung temuannya, dengan jalan mendirikan “Saung Angklung” di daerah Bandung. 

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


Ari Nur Cahyo

Tentang Penulis

Sumber: