Oleh: Sigit Nugroho
Pemimpin Redaksi fin.co.id
Gelombang kepanikan melanda masyarakat bak gelombang pasang yang tiba-tiba menghantam pesisir. Kabar yang beredar di media sosial menyebutkan bahwa kendaraan dengan pajak mati selama dua tahun akan langsung disita dan dihapus dari registrasi kepemilikan. Seakan-akan negara sedang menyiapkan penyapu jalan raksasa untuk menyedot semua kendaraan yang telat membayar pajak. Namun, apakah demikian realitanya? Ataukah ini hanya kepanikan massal yang dipicu oleh salah tafsir terhadap Pasal 74 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ)?
Polisi sudah angkat bicara, membantah isu yang membuat publik cemas. Dirgakkum Korlantas Polri, Brigjen Pol. Raden Slamet Santoso, menegaskan bahwa informasi mengenai penyitaan kendaraan adalah keliru. Tidak ada kebijakan yang memungkinkan polisi untuk serta-merta menyita kendaraan hanya karena pemiliknya terlambat membayar pajak selama dua tahun. Namun, apa daya? Ketika sebuah isu telah menyebar dengan liar, membendungnya bagaikan berusaha menghentikan banjir dengan selembar daun pisang.
Panik yang Berlebihan: Salah Siapa?
Keresahan ini bukan muncul tanpa sebab. Masyarakat, yang sudah terbebani oleh berbagai tekanan ekonomi, kini merasa seperti berada di bawah bayang-bayang perampasan kendaraan mereka. Padahal, jika ditelaah lebih dalam, Pasal 74 UU LLAJ hanya mengatur soal penghapusan data registrasi kendaraan yang pajaknya mati selama dua tahun, bukan penyitaan fisik kendaraan. Itupun dilakukan dengan pertimbangan pejabat yang berwenang, bukan secara otomatis. Namun, di era digital yang serba cepat, informasi sering kali dikonsumsi tanpa dicerna, lalu disebarkan tanpa diverifikasi.
Ironisnya, di saat masyarakat menuntut pemerintah untuk segera mengesahkan undang-undang perampasan aset koruptor, yang terjadi justru kepanikan akibat isu perampasan kendaraan rakyat. Bagaimana bisa pemerintah begitu gesit dalam urusan penghapusan data kendaraan tetapi masih lamban dalam menyita harta koruptor yang jelas-jelas merugikan negara? Seharusnya, ketegasan hukum lebih dulu menyasar para perampok uang rakyat, bukan membuat masyarakat kecil gelisah dengan isu yang belum tentu benar.
Peran Media Sosial dalam Menyulut Kepanikan
Tidak bisa dimungkiri, media sosial memiliki peran besar dalam menciptakan kekacauan informasi. Sebuah narasi yang dibumbui dengan ketakutan akan lebih cepat menyebar dibandingkan klarifikasi yang bersifat logis dan membosankan. Dengan hanya membaca judul dan potongan informasi yang sepotong-sepotong, publik langsung menarik kesimpulan dan menuduh pemerintah serta aparat sebagai aktor utama dalam konspirasi ‘perampasan massal’. Akibatnya, klarifikasi dari kepolisian pun tenggelam di tengah riuhnya komentar netizen yang sudah terlanjur percaya bahwa kendaraan mereka akan diambil paksa.
Masyarakat Butuh Kepastian, Bukan Kepanikan
Pemerintah dan pihak berwenang harus lebih proaktif dalam memberikan pemahaman yang jelas kepada masyarakat. Sosialisasi mengenai aturan ini harus dilakukan secara luas, transparan, dan tidak membingungkan. Jangan sampai peraturan yang bertujuan untuk menciptakan ketertiban justru membuat masyarakat ketakutan karena minimnya edukasi. Jika masyarakat telah mendapat informasi yang jelas sejak awal, tidak akan ada kekhawatiran berlebihan seperti ini.
Baca Juga
Sebagai masyarakat, kita juga harus lebih kritis dalam menyaring informasi. Jangan mudah terpancing oleh narasi yang provokatif tanpa terlebih dahulu memastikan kebenarannya. Di era digital ini, hoaks bisa lebih berbahaya daripada penyakit karena dapat menyebarkan kepanikan tanpa obat penawarnya.
Jadi, sebelum kita berteriak ‘perampasan!’, mari kita pastikan dulu bahwa yang kita teriakkan benar adanya. Jangan sampai kita sendiri yang tersesat dalam kabut kebingungan yang kita ciptakan. Lagi pula, negara ini sudah cukup gaduh dengan berbagai polemik yang lebih mendesak—jangan sampai kita menambahnya dengan kecemasan yang tidak perlu.(Sigit Nugroho)