Kredo Puisi Esai Menyeret Saya, Lalu Batin Saya Terusik

fin.co.id - 10/06/2024, 16:52 WIB

Kredo Puisi Esai Menyeret Saya, Lalu Batin Saya Terusik

Amelia Fitriani: CEO XYZ+ dan Anggota Komunitas Puisi Esai Indonesia

Menurut pengagasnya, Denny JA, Puisi Esai adalah perpaduan antara dua jenis pemikiran, yakni puisi dan esai. Gagasan ini diwujudkan melalui buku pertama Puisi Esai yang ia tulis berjudul “Atas Nama Cinta” pada tahun 2012 silam. 

Hal lain yang menarik yang kerap digaungkan oleh Denny JA adalah bahwa Puisi Esai muncul sebagai sekuntum bunga di antara ribuan bunga di taman. Saya menafsirkannya, tumbuhnya Puisi Esai tidak lantas mematikan puisi atau genre sastra lainnya yang telah lebih dulu mewarnai taman yang indah. Ia muncul untuk memberi warna baru di taman.

Menurut Denny JA, sebuah tulisan baru bisa disebut sebagai Puisi Esai jika memenuhi empat kriteria. Pertama, tulisan itu menggambarkan dengan jelas sisi batin dan sisi kehidupan kemanusiaan pada tokoh utama. Kedua, tata bahasanya indah dan mudah dipahami. 

Kriteria ketiga, pengalaman batin dan fakta sosial dikemukakan melalui catatan kaki dan menyajikan data. Keempat, fakta sosial yang mampu membuat pembaca memahami kondisi tokoh utama dalam cerita.

Sejalan kemudian, saya mendapati bahwa semangat yang dibawa oleh Puisi Esai adalah untuk mengembalikan puisi ke tengah masyarakat. Semangat itu yang membuat saya semakin tertarik dengan Puisi Esai.

Mengapa demikian? Karena di lkalangan generasi milenial ataupun generasi z, puisi mungkin bukan sesuatu hal yang umum bersentuhan dengan mereka.

Saya sendiri sejak duduk di bangku kuliah, aktif mengikuti perkumpulan sastra mahasiswa yang disebut dengan Tongkrongan Sastra Senjakala. Di situ saya mendapi bahwa puisi adalah sesuatu yang rumit, terutama dalam pemilihan diksi yang “canggih”. Canggih yang saya maksud di sini adalah diksi-diksi yang tidak umum saya dengar. Karena itulah, saya kerap sulit memahami makna dari suatu puisi.

Dulu, saya beranggapan bahwa semakin canggih diksi yang digunakan, maka semakin hebat puisi itu. Semakin sulit suatu puisi itu dipahami, karena kecanggihan diksi yang digunakan, semakin keren puisi itu. Karena anggapan itulah, saya menyadari bahwa saya tidak bisa menulis, apalagi memahami puisi. Bagi saya, puisi adalah sesuatu yang luhur, yang saya sulit menjangkaunya.

Saya membayangkan, barangkali, anggapan semacam itu bukan hanya muncul di benak saya, namun juga benak banyak orang lainnya. Sehingga menyebabkan puisi semakin terasing di tengah masyarakat kini.

Namun anggapan saya berubah setelah saya mengenal Puisi Esai. Formula dari Puisi Esai membuat saya, yang sebelumnya merasa asing dengan puisi, nyaman untuk berkenalan. Karena tidak ada penghakiman atas istilah “penyair” dan “bukan penyair”, berkat kredonya: “Yang bukan penyair boleh ambil bagian”. Kredo itu memberikan kesan pada diri saya bahwa saya diterima di sini.

Selain itu, Puisi Esai pun akan selalu tumbuh seiring dengan perkembangan zaman. Mengapa demikian? Karena setiap waktu, selalu ada fenomena sosial terjadi di hidup manusia. Puisi Esai mengajarkan para penulisnya untuk peka akan hal itu, dan menangkap fenomena itu untuk dituangkan dalam tulisan yang indah. “Indah” yang saya maksud di sini adalah adanya tambahan bumbu fiksi yang mewarnai tulisan itu.

Tujuannya tidak lain adalah agar unsur puitis tetap bersemi di dalam Puisi Esai, tanpa mengabaikan fenomena yang sesungguhnya terjadi.

Lantas, jika mau menulis Puisi Esai mulai dari mana?

Sebagai anak muda yang baru menjadi “tunas” dalam Puisi Esai, saya tertarik untuk membagikan keseruan proses kreatif saya ketika menulis Puisi Esai. Saya mengangkat satu contoh tulisan Puisi Esai saya, yaitu “Azizah untuk Dato” yang dimuat dalam buku kumpulan Puisi Esai Indonesia-Malaysia Fajar Baru Anwar Ibrahim tahun 2023 lalu.

Berikut tahapan yang saya jajaki dalam proses kreatif saya menulis Puisi Esai tersebut:

Khanif Lutfi
Penulis