“Merujuk pada definisi dari Legal Information Institute Cornell University, arti dari concurring reason harus dimaknai bahwa hakim yang menyampaikan concurring reason itu setuju (agree) terhadap mayoritas hakim yang lain, yang dalam hal ini Hakim Saldi Isra, Hakim Arief Hidayat dan dua Hakim yang menolak permohonan lainnya, dan bukannya dianggap setuju dengan Hakim Anwar Usman dan dua orang Hakim lainnya yang mengabulkan.”
Menurut Azeem, penarikan kesimpulan dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi yang menganggap Concurring Opinion itu setuju pada hakim yang mengabulkan permohonan, “adalah kesesatan atau penyesatan penyimpulan.”
BACA JUGA: Soal Statusnya di PDI Perjuangan, Gibran: Gak Perlu Diulang-Ulang, Statmen Mbak Puan Sudah Jelas
Sementara itu Teguh Prihandoko, yang juga Alumnus FE Unair menyatakan, terdapat fakta yang tidak terbantahkan Ketua Mahkamah Konstitusi (Hakim Anwar Usman) memiliki hubungan keluarga besar dengan Gibran Rakabuming Raka.
“Setelah Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut ditetapkan, Gibran kemudian ditetapkan sebagai Calon Wakil Presiden dari partai-partai yang diuntungkan dengan adanya amar putusan yang telah dibacakan,” kata Teguh.
Teguh menambahkan, bahwa Hakim Anwar Usman track recordnya telah lama mengabdi di lingkungan Mahkamah Agung sebelum menjadi Hakim Mahkamah Konstitusi.
Seharusnya telah memahami etika untuk mundur/tidak terlibat dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan karena adanya Conflict of Interest.
“Bahkan dalam kedudukannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi harusnya memberikan keteladanan sebagai seorang yang dianggap negarawan, bukan sebaliknya melakukan perbuatan yang merongrong kewibawaan Mahkamah Konstitusi,” ujar Teguh.
Ketiga pemohon ini mengajukan permohonan yang berisi 5 permohonan, yaitu agar Mahkamah Konsitusi:
1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan ketentuan “berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final” pada Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum, sepanjang tidak dimaknai “berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, sepanjang tidak terdapat pelanggaran yang mengancam imparsialitas Mahkamah.”;
3. Menyatakan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum, sepanjang tidak dimaknai “Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili, dan memutus dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi dengan 9 (sembilan) orang hakim konstitusi, kecuali dalam keadaan luar biasa dengan 7 (tujuh) orang hakim konstitusi yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi dan Hakim konstitusi yang mengadili dan memutus dalam sidang pleno sebagaimana dimaksud secara mutlak tidak memiliki potensi benturan kepentingan dengan perkara yang diperiksa, diadili dan diputuskan”;
4. Menyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/ PUU-XXI/2023;
5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.