Dengan demikian, kata Liz, kalau harga gas melonjak di atas cap, pemerintah yang menanggungnya. Lewat subsidi energi. Lagi-lagi Inggris bisa berutang.
Tapi semua itu berantakan. Gara-gara kata ''utang'' itu pasar uang tidak percaya pada pemerintahan Liz. Terutama kepada ''menko'' perekonomiannya, Kwasi Kwarteng.
Kwartenglah yang mengumumkan kebijakan Liz, ''pajak rendah, tumbuh tinggi''. Kelihatannya Kwarteng inilah yang ngotot dengan konsep itu. Dasarnya sangat ilmiah. Ia pakai teori ekonomi trickle down effect. Ia memang doktor ekonomi. Lulusan universitas paling hebat di dunia: Oxford.
Teori itu pula yang dilakukan Presiden Donald Trump. Dinilai berhasil di sana. Ekonomi Amerika bergairah saat itu. Utang Amerika bertambah. Tidak banyak rakyat yang protes. Pasar uang juga bisa menerimanya. Kurs dolar baik-baik saja.
Tapi tidak di Inggris. Mungkin karena peran pound sterling tidak sedominan dolar Amerika di pasar dunia.
Kebijakan ''pajak rendah, tumbuh tinggi'' itu berakibat sebaliknya di Inggris. Pound jatuh. Suku bunga naik. Rakyat yang baru saja senang dapat subsidi energi tercekik di cicilan rumah. Ibaratnya, kata sahabat Disway di London tadi, ''rakyat dapat subsidi 200, harus bayar 600''. "Sama saja bo'ong," kata Wanita Disway.
Akhirnya Liz panik. Dia copot Kwarteng. Padahal itu teman baiknya. Sejak lama. Kwarteng pendukung Liz yang setia. Tapi jabatan Liz terancam. Apa boleh buat. Teman harus dikorbankan.
Kwarteng adalah ilmuwan-politisi kulit hitam. Ayahnya imigran dari Ghana. Ia begitu hebat sampai dipercaya menjabat pimpinan ekonomi Inggris. Sayang, tidak sampai dua bulan. Ia diganti ekonom kulit putih Jeremy Hunt.
Pejabat baru itu membatalkan hampir semua kebijakan Kwarteng. Balik kucing. Pasar kembali tenang. Tapi pound belum bisa langsung menguat. Suku bunga juga tidak bisa langsung turun. Naik hampir selalu lebih cepat daripada turun. Kecuali bagi Teddy Minahasa.
Reputasi Liz pun hancur. Dia dianggap menjadikan rakyat Inggris sebagai kelinci percobaan. Memalukan Inggris di mata dunia. Mulailah ada suara agar dia mundur.
Sebenarnya Liz ingin bertahan. Tapi ada bencana susulan. Menteri dalam negerinyi mendadak mengundurkan diri. Wanita. Muda, 42 tahun. Namanyi: Suella Braverman. Dia wanita keturunan India. Ibu orang Tamil dari Mauritius. Ayah dari Gowa. Dia ilmuwan hukum. Anggota DPR. Mantan Jaksa Agung Inggris.
Satu lagi jabatan sangat penting Inggris di bawah Liz dipercayakan pada tokoh kulit berwarna: menteri luar negeri. Yakni James Cleverly. Di Inggris partai Konservatif lebih berwarna dibanding Partai Buruh. Kebalikan dengan di Amerika Serikat.
Begitu Mendagri Suella, mundur kabinet guncang. Padahal alasan mundurnyi sepele untuk ukuran kita: dia mengirim draf peraturan menteri lewat alamat email pribadinyi. Di Inggris itu dianggap penyalahgunaan jabatan yang amat serius. Hanya alamat email.
Tapi memang tidak hanya itu. Dalam surat pengunduran dirinyi, Suella juga mengkritik habis Liz soal balik kucing pemerintahannyi.
Selanjutnya Anda sudah tahu sendiri: Liz mengundurkan diri. Siapa penggantinyi agak rumit. Suella pernah ikut bersaing untuk jabatan perdana menteri, tapi tersisih di babak awal. Mungkin saja tokoh keturunan India lainnya yang akan naik: Rishi Sunak. Hari itu, Rishi sudah bersaing ketat dengan Liz sampai di babak akhir. Siapa tahu kali ini Rishi Sunak yang akan jadi perdana menteri Inggris. Luar biasa. (*)