Saat responden ditanya lembaga manakah yang paling berhak mengeluarkan sertifikasi vaksin halal di Indonesia, Mayoritas responden (83,5 persen), kata Asep, menyatakan MUI.
Sedangkan responden yang menyatakan Kemenag RI ada 10,6 persen. Badan Halal (0,3 persen), pihak lainnya (0,1 persen). Tidak menjawab (5,5 persen).
(BACA JUGA: Pajero Sport Pimpin Angka Penjualan SUV Ladder Frame Bulan Maret 2022)
“Dan apabila memang sudah ada vaksin halal, hampir seluruh responden (94,1 persen) menyatakan pemerintah wajib menyediakannya. Hanya 5,9 persen yang menyatakan pemerintah tidak wajib menyediakan. Terlebih Hampir semua responden (95,8 persen) lebih memilih vaksin halal di banding vaksin haram (0,3 persen), dan bila dipaksa untuk mendapatkan vaksin haram, sebanyak (84,1 persen) akan menolak. Yang mau menerima vaksin haram hanya (7,4 persen). Tidak tahu/tidak menjawab (8,5 persen)," ujar mantan peneliti LSI-Denny JA tersebut.
Selain berharap segera tersedianya vaksin halal, Asep menuturkan sebagian besar responden menginginkan vaksin halal tersebut diberikan secara gratis.
“Sebagian besar responden (72,6 persen) akan menolak divaksin jika harus berbayar atau tidak gratis. Hanya 14,7 persen yang mau divaksin meski harus membayar. Ada 12,7 persen yang tidak tahu/tidak menjawab,” ucapnya.
Terkait adanya informasi vaksin bersertifikat halal MUI seperti Sinovac, Zifivak, dan Merah Putih sedang diproduksi di Indonesia, Asep menuturkan, hanya (29,3 persen) responden yang mengetahui.
(BACA JUGA: Daftar 20 Mobil Terlaris di Indonesia Bulan Maret 2022, Mobil Anda Termasuk?)
Selebihnya (70,7 persen) tidak tahu. Padahal dari responden yang mengetahui, mayoritas (95,8 persen) setuju dan mendukung diproduksinya vaksin halal tersebut sebagai karya anak bangsa. Hanya (1,9 persen) yang tidak setuju dan tidak mendukung.
“Dengan kata lain tingkat apresiasi publik terhadap diproduksinya vaksin halal seperti Sinovac dan lainnya sangat tinggi. Tidak menutup kemungkinan, semakin banyak yang tahu maka akan cenderung setuju dan mendukung,” ungkap Asep.
Sementara mengenai informasi yang menyebutkan adanya 50 juta lebih dosis vaksin mengandung material haram diperkirakan akan kadaluarsa pada bulan Mei tahun ini, Asep menjelaskan hanya 12,1 persen responden yang tahu. Sebaliknya, 87,9 persen mengaku tidak tahu terkait informasi tersebut.
“Dari responden yang menjawab tahu, mayoritas responden (86,5 persen) menolak jika 50 juta vaksin tersebut disuntikkan kepada masyarakat muslim. Hanya 10,8 persen yang tetap mau menerima. Dan 2,7 persen responden tidak menjawab,” ungkapnya.
(BACA JUGA: Yamaha Fazzio vs Honda Scoopy, Mana Lebih Unggul?)
Dari semua responden pemudik, Asep menyatakan sebanyak 50,7 persen responden menyatakan sudah divaksin booster. Kemudian yang divaksin 2 kali, 39,9 persen, dan yang baru 1 kali 9,5 persen.
“Umumnya, mayoritas responden (68,1 persen) mengatakan kurang setuju/tidak setuju sama sekali jika vaksin booster dijadikan syarat mudik lebaran. Sebanyak 22,5 persen responden menyatakan sangat setuju/cukup setuju. Tidak tahu/tidak menjawab 9,2 persen. Bahkan responden juga tidak setuju (79,3 persen) bila vaksin booster dijadikan syarat administratif untuk mendapatkan pelayanan publik seperti mengurus KTP, KK, sekolah anak, bantuan sosial, dan syarat-syarat lainnya. Yang sangat setuju/cukup setuju (15,6 persen), tidak tahu/tidak menjawab (5,1 persen),” ungkap Asep