Herry Wirawan Divonis Mati, Peneliti: Tidak Ada Bukti Ilmiah Bisa Menyebabkan Efek Jera

fin.co.id - 04/04/2022, 19:14 WIB

Herry Wirawan Divonis Mati, Peneliti: Tidak Ada Bukti Ilmiah Bisa Menyebabkan Efek Jera

Herry Wirawan divonis seumur hidup oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Bandung. Ia dinyatakan terbukti bersalah memperkosa 13 santriwati.

JAKARTA, FIN.CO.ID - Pasca divonisnya Herry Wirawan dengan hukuman mati, Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati menegaskan bahwa hukuman mati terhadap bukanlah merupakan solusi bagi korban kekerasan seksual.

Maidina mengatakan bahwa hukuman mati terhadap pelaku kekerasan seksual, justru akan menggeser fokus negara kepada hal yang tidak lebih penting dari korban.

(BACA JUGA: Luhut: Kasus Covid-19 di Indonesia Anjlok, Bila Dilihat Secara Nasional dalam Waktu Kurang dari Tiga Bulan )

Kata Maidina, tidak ada satupun bukti ilmiah yang menyebut bahwa pidana mati dapat menyebabkan efek jera, termasuk kasus perkosaan.

"Meskipun pelaku perkosaan dan kekerasan seksual lain harus dimintai tanggung jawab, hukuman mati dan penyiksaan bukanlah solusinya," kata Maidina dikutip, Senin, 4 April 2022. 

Menurutnya, dalam putusan ini, hakim menyatakan bahwa restitusi dijatuhkan sebagai upaya memberikan efek jera kepada pelaku. 

Padahal, restitusi seharusnya diposisikan di dalam diskursus hak korban, bukan penghukuman terhadap pelaku.

(BACA JUGA: Mau Mudik Tapi Belum Vaksin? Menkes: Yang Sudah Booster Lengkap Tidak Perlu Tes Apa-apa)

"Jika mengikuti logika berpikir ini, hakim akan menghadapi pembatasan di dalam Pasal 67 KUHP, yang melarang penjatuhan pidana tambahan lain kepada terdakwa yang dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup," kata Maidina.

Hal ini yang di dalam putusan lalu menjadi masalah bagi hakim di tingkat pertama bahwa ketika hukuman yang maksimal sudah diberikan kepada pelaku, hukuman lain tidak dapat dijatuhkan.

Maka dari itu, tutur Maidina, untuk mengatasi kekacauan ini, seharusnya hukuman mati tidak boleh dijatuhkan di dalam kasus apa pun, khususnya kekerasan seksual, dalam hal ini korban membutuhkan restitusi untuk mendukung pemulihannya.

"ICJR memahami bahwa kasus ini menyulut kemarahan yang besar bagi publik. Meski demikian, kemarahan publik bukanlah hal yang seharusnya menjadi fokus utama pada pemberian keadilan bagi korban," ucapnya.

(BACA JUGA: Dea Onlyfans Bawa Bukti Transaksi Sekaligus Wajib Lapor ke Polda Metro Jaya)

Fokus utama aparat penegak hukum seharusnya terhadap korban, dan bukan kepada pelaku. 

Pengadilan yang saat ini sudah memiliki pedoman mengadili perkara perempuan harus mulai berpikir progresif dengan memikirkan kebutuhan korban.

Dapatkan berita terkini langsung di ponselmu. Ikuti saluran FIN.CO.ID di WhatsApp: https://whatsapp.com/channel/0029Vajztq

Admin
Penulis
-->