Kuat Pilkada 2024

fin.co.id - 02/02/2021, 10:35 WIB

Kuat Pilkada 2024

Pesawat milik maskapai Citilink terdampak abu vulkanik erupsi Gunung Ruang di Bandara Sam Ratuangi, Manado, Sulawesi Utara

JAKARTA - Tarik ulur pembahasan RUU Pemilu semakin panas. Kepentingan partai terhadap aturan tersebut mati-matian diperjuangkan. Setuju atau tidak, pembahasan harus dilakukan dengan pemerintah. Tapi, pemerintah menyatakan sudah tidak setuju.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin mengatakan, sealot apapun perdebatan, jika pemerintah tidak ikut membahas, dipastikan RUU Pemilu tidak dilanjutkan.

BACA JUGA:  Electrifying Agriculture: Pemanfaatan Lampu UV Terbukti Tingkatkan Produktivitas Tanaman Hidroponik

"Pemerintahkan sudah jelas mengatakan jika menolak untuk membahas. Dan pembahasan RUU ini harus dlakukan DPR dan pemerintah. Jadi, sudah jelas jika RUU ini tidak akan dibahas," kata Akademisi Universitas Al Azhar Indonesia tersebut, Senin (1/2).

BACA JUGA:  Nama Moeldoko Menguat, Dugaan Pengambilalihan Secara Paksa Kekuasaan AHY

Ujang melanjutkan, soal tarik ulur di DPR, adalah hal lumrah. Partai politik dipastikan akan bersikap sesuai kepentingan masing-masing. Hanya saja, jika Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tidak dlakukan di 2022 dan 2023 akan banyak Pejabat Sementara (Pjs).

"Nah, ini kan masanya cukup lama. Bisa sampai dua tahun. Juga tidak mungkin, nantinya Pjs yang diduduki Aparatur Sipil Negara (ASN) akan condong ke salah satu partai politik. Karena tidak menutup kemungkinan, suatu daerah akan condong kepada partai tertentu," paparnya.

BACA JUGA:  Polisi tak Tahan Ambroncius Terkait Ujaran Rasis, Muannas: Harusnya Ditahan

Sementara itu, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan yang tidak ingin aturan tentang Pemilu yang saat ini berlaku mengaku bersyukur. Alasannya, hal tersebut sejalan dengan sikap pemerintah yang menolak untuk membahas RUU Pemilu.

BACA JUGA:  Kedatangan Thomas Tuchel Membuat Chelsea Sering Memainkan Penguasaan Bola

"Saya senang kalau pemerintah juga berpendapat sama dengan PAN, alhamdulillah terima kasih. Jadi kan lebih ringan, berarti kan bagus," kata Zulhas (sapaan akrabnya-red).

Menurut dia, partai-nya menolak revisi UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu adalah keputusan internal yang telah dilakukan kajian secara komprehensif dan tidak pernah dihubungi Presiden Jokowi terkait sikap partai-nya tersebut.

BACA JUGA:  Erick Thohir Jadi Ketua MES, Tengkuzul: Orang yang Bisnis Pakai Riba Kok Dianggap Dukung Ekonomi Syariah?

"Terikait sikap PAN dalam RUU Pemilu, tidak ada kaitannya dengan pemerintah, jadi kita mengambil keputusan sendiri. Jadi kalau ada yang tanya apakah bertemu Presiden Jokowi membahas, tidak," ujarnya.

BACA JUGA:  Bela Jokowi, Ferdinand Sentil Partai Demokrat: Jangan Turunkan Martabat Presiden

Sementara itu, Wakil Ketua Fraksi Partai NasDem DPR RI Willy Aditya menilai jika Pilkada Serentak nasional dilaksanakan tahun 2024 maka akan banyak Pjs kepala daerah dalam waktu yang cukup lama. Sehingga akan berdampak pada tanggung jawab politik terhadap rakyat karena hak publik menjadi terabaikan.

"Pelayanan publik jadi terganggu. Padahal kebutuhan publik adalah salah satu tanggung jawab utama seorang pemimpin hasil pemilihan,” kata Willy.

BACA JUGA:  Rasis ke Natalius Pigai, Ambroncius Nababan Ternyata Pernah Caleg Dapil Papua

Menurut Willy, Pemilu dan Pilkada adalah kunci dari perwujudan kedaulatan rakyat sehingga jika ada pihak lain yang bermaksud menghilangkan atau menunda proses tersebut, maka harus diperiksa dari mana mandat itu didapatkan.

BACA JUGA:  Rekonstruksi Kasus Bansos Covid-19: Operator Ihsan Yunus Terima Rp1,5 M dan Dua Sepeda Brompton

Selain itu dia menilai, Pemilu atau Pilkada merupakan mekanisme pemberian otoritas politik dari warga negara kepada penguasa. Supremasi yang dimiliki oleh suatu pemerintahan, sesungguhnya adalah supremasi yang didelegasikan dari rakyat.

"Mandat rakyat untuk pemimpin baik nasional maupun daerah hanya lima tahun, dan itu adalah waktu bagi rakyat mendapatkan haknya untuk memilih kembali pemimpinnya," ujarnya.

Dari sisi teknis Willy menjelaskan, pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2024 juga terlalu berisiko karena penggabungan Pemilu dan Pilpres 2019 harus menjadi pelajaran penting.

BACA JUGA:  Telkom Raih Penghargaan di Ajang BUMN Corporate Communications and Sustainability Summit

Dia menilai, jangan sampai kekacauan dan korban jiwa yang tidak pernah dipikirkan sebelumnya terulang dan menjadi lebih parah akibat tidak mau mengambil pelajaran tersebut.

Terpisah, Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid meminta seluruh fraksi di DPR dan pemerintah membuat kebijakan yang objektif terkait jadwal Pilkada 2022 dan 2023 yang akan diatur dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu.

Dia menilai pelaksanaan pilkada yang semestinya dilaksanakan pada 2022 dan 2023, harus tetap dilaksanakan sebagaimana mestinya sehingga tidak perlu diundur ke 2024 yang akan dibuat serentak dengan Pemilu Presiden (Pilpres) dan Pemilu Legislatif (Pileg).

BACA JUGA:  Deddy Corbuzier Singgung Aldi Taher Mau Jadi Bintang Tamu, Netizen Ingatkan Efek Lutfi Agizal

HNW menjelaskan, pelaksanaan pilkada sesuai jadwalnya yaitu pada 2022 dan 2023, merupakan bentuk keadilan seperti Pilkada 2020 tetap terselenggara meskipun COVID-19 masih menyebar.

Menurut dia, pelaksanaan Pilkada tahun 2022 dan 2023 juga akan berguna untuk menjaga stabilitas politik dan meminimalisir gangguan keamanan yang semakin menumpuk terhadap penyelenggaraan pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg) serentak bila pilkada digabungkan.

"Pemerintah dan DPR perlu belajar dari pengalaman Pemilu 2019 di mana pileg dan pilpres digabungkan, malah menghadirkan korban ratusan KPPS yang meninggal," katanya.

BACA JUGA:  Rocky Gerung ke Abu Janda: Para Penjilat ini Sok Jago Bahwa akan Dilindungi Penguasa

Dia menilai, penggabungan itu juga menyebabkan rakyat tidak fokus memilih anggota DPR/DPRD, karena fokusnya hanya kepada pilpres sehingga bisa dibayangkan kerawanan keamanan dan potensi tidak berkualitasnya ratusan pilkada bila digabungkan juga dengan pilpres.

HNW mengkritisi alasan Pemerintah yang berencana menunda Pilkada 2022 dan 2023, dilaksanakan serentak pada 2024 bersama dengan pilpres dan pileg, karena alasan stabilitas politik dan keamanan.

Sebelumnya, ramai diberitakan, jika Jokowi tetap menginginkan pelaksanaan Pilkada pada 2024 mendatang. Alasannya, aturan yang baru disahkan pada 2017 lalu masih banyak yang belum diterapkan.

BACA JUGA:  Pandemi Covid-19 Melanda, Penduduk Miskin Bogor Meningkat 2,6 Persen

Terlebih, kondisi pandemi Covid-19 yang belum usai menjadi salah satu pertimbangan. Merumuskan bagaimana bangsa bisa keluar dari pagebluk ini dianggap lebih penting ketimbang merevisi RUU Pemilu.

Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Bahtiar menyikapi adanya usulan Revisi Undang-Undang Pemilu. Dijelaskan Bahtiar, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota merupakan perubahan UU Nomor 1 Tahun 2015.

BACA JUGA:  Sebut Islam Agama Arogan, Tagar #TangkapAbujanda jadi Trending di Twitter

Dalam perubahan tersebut, di antaranya mengamanatkan perubahan keserentakan nasional yang semula dilaksanakan pada 2020 menjadi 2024. Perubahan tersebut, bukanlah tanpa dasar, melainkan telah disesuaikan dengan alasan yuridis, filosofis, hingga sosiologis.

“Nah oleh karenanya, kami berpendapat bahwa UU ini mestinya dijalankan dulu, tentu ada alasan-alasan filosofis, ada alasan-alasan yuridis, ada alasan sosiologis, dan ada tujuan yang hendak dicapai mengapa Pilkada diserentakkan di tahun 2024,” kata Bahtiar.

Admin
Penulis