Pecat Oknum Sekolah Paksakan Siswi Berjilbab

fin.co.id - 25/01/2021, 09:22 WIB

Pecat Oknum Sekolah Paksakan Siswi Berjilbab

Pesawat milik maskapai Citilink terdampak abu vulkanik erupsi Gunung Ruang di Bandara Sam Ratuangi, Manado, Sulawesi Utara

JAKARTA - Kasus pemaksaan siswi non muslim mengenakan hijab di SMK Negeri 2 Padang, Sumatera Barat, berbuntut panjang. Pihak-pihak yang terlibat dalam aturan agar ditindak tegas.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim geram mendengar adanya pemaksaan terhadap siswi non muslim untuk menggunakan hijab atau jilbab di SMK Negeri 2 Padang, Sumatera Barat. Dia pun lantas memerintahkan pemerintah daerah (Pemda) setempat untuk memberi sanksi tegas terhadap siapapun yang terlibat. Jika perlu dipecat dari jabatannya.

BACA JUGA:  Meski Diperpanjang Hingga 8 Februari, Pemkot Semarang Bakal Longgarkan Ketentuan PPKM

"Saya meminta pemerintah daerah sesuai dengan mekanisme yang berlaku segera memberikan sanksi tegas atas pelanggaran disiplin bagi seluruh pihak yang terbukti terlibat. Termasuk kemungkinan menerapkan pembebasan jabatan agar permasalahan ini jadi pembelajaran kita bersama ke depan," katanya dalam video yang diunggah melalui akun Instagram, Minggu (24/1).

Dikatakan mantan bos Go-jek itu, pihaknya langsung berkomunikasi dengan pemerintah daerah setempat usai mendapat laporan. Ditegaskannya, perkara intoleransi atas keberagaman tidak bisa ditoleransi.

"Perkara tersebut tak hanya melanggar undang-undang, namun juga nilai pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika," tegasnya.

BACA JUGA:  Khawatir Gempa Susulan, Ribuan Warga Mamuju Belum Mau Pulang ke Rumah

Ditegaskannya, aturan berseragam di sekolah seharusnya mengacu pada Pasal 3 ayat 4 Peraturan Mendikbud No. 45 Tahun 2014. Dalam aturan tersebut ditegaskan sekolah wajib memperhatikan hak setiap warga negara untuk menjalankan keyakinan agamanya masing-masing dalam berpakaian.

Perkara ini pun sejalan dengan Pasal 4 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur agar pendidikan diselenggarakan secara demokratis, berkeadilan dan tidak diskriminatif.

Pada Pasal 55 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, lanjut dia, juga ditegaskan setiap anak memiliki hak beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai tingkat intelektualitas dan usianya dibawah bimbingan orang tua atau wali.

BACA JUGA:  PLN Ringankan Beban Pelanggan Terdampak Gempa Mamuju dan Majene dengan Penyambungan Gratis

Atas dasar itu, dia menekankan sekolah tak boleh membuat peraturan pakaian siswa yang tidak sesuai dengan agama atau kepercayaan mereka.

"Pemerintah tidak akan mentolerir guru atau kepala sekolah yang melakukan pelanggaran dan bentuk intoleransi tersebut," tegasnya.

Sementara itu, Menko Polhukam Mahfud MD menyebut pemaksaan tersebut seperti membalikan pada akhir tahun 1970-an.

Menurutnya pada saat itu, masyarakat muslim memprotes aturan larangan menggunakan jilbab bagi siswa sekolah. Protes itu kemudian melahirkan kebijakan membolehkan siswa menggunakan jilbab. Kini, siswa non muslim tidak boleh diwajibkan menggunakan jilbab.

BACA JUGA:  Muannas ke Pandji Pragiwaksono: Mau Dukung Anies Silahkan, Mau Dekat FPI Monggo, Tapi gak Mesti Melawan Hukum

"Akhir tahun 1970-an sampai dengan 1980-an, anak-anak sekolah dilarang pakai jilbab. Kita protes keras aturan tersebut ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud). Setelah sekarang memakai jilbab dan busana muslim dibolehkan dan menjadi mode, tentu kita tak boleh membalik dengan situasi mewajibkan anak nonmuslim memakai jilbab di sekolah," katanya melalui akun twitternya @mohmahfudmd Minggu (24/1).

Diungkapkannya, saat itu seperti ada diskriminasi terhadap orang Islam di Indonesia. Tetapi, kecenderungan diskriminasi itu bisa ditekan seminimal mungkin oleh NU dan Muhammadiyah. Terutama melalui pendidikan.

"Sampai dengan akhir 1980-an di Indonesia terasa ada diskriminasi terhadap orang Islam. Tapi berkat perjuangan yang kuat dari NU Muhammadiyah dll, terutama melalui pendidikan, demokratisasi menguat. Awal 90-an berdiri ICMI. Masjid dan majelis taklim tumbuh di berbagai kantor pemerintah dan kampus-kampus," katanya.

BACA JUGA:  Petinggi GP Ansor Ini Sentil Risma: Butuh 99 Tahun Bereskan Gelandangan di Indonesia, Bayangkan!

Kembali ke era sebelumnya, menurut Mahfud pada awal 1950-an, Menag Wahid Hasyim dari kalangan NU dan Mendikjar Bahder Johan mewakili Masyumi membuat kebijakan, sekolah umum dan sekolah agama mempunyai "civil effect" yang sama.

"Hasilnya sejak 1990-an kaum santri terdidik bergelombang masuk ke oposisi-oposisi penting di dunia politik dan pemerintahan " ujarnya.

Selain itu, kebijakan penyetaraan pendidikan agama dan pendidikan umum oleh dua menteri itu sekarang menunjukkan hasilnya. Kini, banyak alumni pesantren yang mengisi instansi pemerintah. Bahkan di kalangan TNI dan Polri.

"Pejabat-pejabat tinggi di Kantor-kantor pemerintah, termasuk di TNI dan POLRI, banyak diisi oleh kaum santri. Mainstream keislaman mereka adalah "wasarhiyah Islam": moderat dan inklusif," ujarnya.

BACA JUGA:  Dapat Jatah FLPP Rp8,73 Triliun, Plt Dirut Bank BTN: Akan Optimalkan KPR Subsidi untuk MBR

Protes keras juga dilontarkan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti. Dia menyebut kasus intoleransi tersebut adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Sebab aturan sekolah harus berprinsip terhadap penghormatan HAM dan menjunjung tinggi nilai kebangsaan.

“Aturan sekolah seharusnya berprinsip pada penghormatan terhadap HAM dan menjunjung nilai-nilai kebangsaan, apalagi di sekolah negeri. Melarang peserta didik berjilbab jelas melanggar HAM. Namun, memaksa peserta didik berjilbab juga melanggar HAM,” ujarnya.

Admin
Penulis