“Menurut saya, nampaknya tata kelola penanganan COVID-19 ini memang perlu diatur ulang. Dulu wapres sempat melaksanakan tugasnya yaitu memonitoring atau mengevaluasi penanganan COVID-19 di daerah, tapi akhirnya semua dikembalikan lagi ke daerah. Jadi, tidak ada yang berjalan dengan baik. Belum lagi presiden dengan para menterinya yang mengeluarkan regulasi yang saling menihilkan,” kata Arief.
Pengamat Politik Unismuh Makassar, Andi Luhur Prianto turut melontarkan keprihatinannya. “Ini soal relasi dan soal power sharing dalam kepemimpinan Jokowi-MA (Ma’ruf Amin). Idealnya kan Pak Kyai MA juga mendapat peran yang proporsional. Tetutama di peran-peran kultural untuk yang menjangkau komunitas-komunitas di masa pandemi seperti ini,” kritiknya.
Karena ada masalah dalam relasi dan power sharing dalam kepemimpinan, peran wapres jadi tidak terlihat. Seperti menjalankan tugas dalam mengawasi distribusi bantuan bencana yang bersifat lintas Kementerian/Lembaga (K/L).
“Juga dalam merumuskan formula kebijakan penanganan kesejahteraan rakyat yang terdampak bencana. Terutama mengantisipasi pertambahan jumlah PHK dan warga miskin baru. Atau menyusun agenda dan prioritas fokus penanganan bencana yang menjadi wewenang wapres,” jelasnya.
Imbas lainnya, kata Andi Luhur, di struktur gugus tim COVID-19, peranan wapres pun belum kelihatan. Padahal idealnya ia bisa hadir meretas kebuntuan dan kekacauan komunikasi kebijakan pemerintah. Wapres bisa menjembatani kepentingan sektoral institusi K/L dalam penanggulangan wabah.
“Pun sama halnya dalam aktivitas sosial-keagamaan di tengah wabah. Sangat sulit kita menemukan wapres bisa hadir membangun kontak dengan komunitas-komunitas terdampak bencana. Atau menggalang solidaritas menghadapi bencana. Peran-peran kultural yang sangat penting ini seharusnya dilakukan seorang wapres,” tandasnya.
Dampak Covid-19 juga diakui pengamat politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio, menghadirkan tekanan berat bagi Jokowi. Paling terasa adalah dampak ekonomi.
Menurut Hendri, dalam kondisi sekarang sosok Ma’ruf Amin sangat dibutuhkan, dalam hal keilmuan maupun pengalamannya memimpin organisasi besar seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) misalnya.
“Masukan wapres harus didengarkan. Terlepas dari itu, sebagai orang yang lebih senior, ruang diskusi juga harus dibuka untuk Pak Kiai. Mungkin saja keduanya sudah melakukannya selama ini, tetapi publik belum melihat itu,” ulas Hendri.