Pemerintah Lamban Tangani Kasus ABK WNI

fin.co.id - 11/05/2020, 03:00 WIB

Pemerintah Lamban Tangani Kasus ABK WNI

Pesawat milik maskapai Citilink terdampak abu vulkanik erupsi Gunung Ruang di Bandara Sam Ratuangi, Manado, Sulawesi Utara

JAKARTA - Pemerintah dinilai lamban menangani kasus kematian warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi anak buah kapal (ABK) di kapal China. Terlebih kematian ABK yang kemudian dilarung di laut diduga akibat ekploitasi.

Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) menilai langkah pemerintah sangat lamban dalam merespon kematian ABK WNI akibat tindakan eksploitasi oleh pemilik kapal penangkap Ikan Long Xing 629. Dan ini sangat disesalkannya.

"Tidak hanya minimalis, Kemenlu juga tidak responsif mengurusi aspek administratif bagi para ABK yang meninggal itu. Akibat kelambanan dan sikap minimalis itu, para almarhum dan keluarganya tidak mendapatkan perlakuan yang layak," katanya dalam keterangan tertulisnya, Minggu (10/5).

Akibat lambannya Pemerintah, lanjut politisi Golkar ini, masyarakat baru mengetahui peristiwa pelarungan jenazah dan eksploitasi ABK pada pekan kedua Mei 2020. Padahal, peristiwa kematian dan pelarungan tiga ABK sudah terjadi pada Desember 2019 dan Maret 2020.

"Lagi pula viralnya peristiwa ini bukan karena inisiatif institusi pemerintah berbagi informasi kepada masyarakat. Tetapi, karena pemberitaan pers Korea Selatan dan aksi warganet memviralkannya," ujarnya.

Diungkapkannya, berdasarkan informasi dari kolega korban peristiwa kematian dan pelarungan jenazah ABK WNI di kapal ikan Long Xing 629 sudah masuk dan diterima Kemenlu sejak Desember 2019. Bahkan kolega almarhun sudah mendatangi Kemenlu.

Mereka selain melaporkan identitas para ABK yang meninggal, juga meminta Kemenlu mendorong KBRI Seoul di Korsel untuk mengeluarkan atau menerbitkan Surat Keterangan Kematian untuk keperluan mengurus asuransi bagi ketiga almarhum.

"Surat ini penting karena asuransi di Indonesia baru bisa membayar asuransi ketiga almarhum, jika ada Surat Keterangan Kematian yang diterbitkan oleh Kementerian Luar Negeri RI cq KBRI," katanya.

Namun menurutnya, permintaan surat keterangan tersebut sama sekali tidak direspons Kemenlu sejak Desember 2019, akibatnya asuransi para almarhum tidak bisa diurus selama berbulan-bulan.

Dia mengatakan, untuk membantu keluarga almarhum yang pasti mengalami kesulitan, para kolega hanya bisa memberi sebagian dari total Rp150 juta nilai asuransi.

"Ketika informasi kematian dan pelarungan jenazah tiga ABK WNI itu mulai viral di dalam negeri, baru Kemenlu dan KBRI Seoul bergerak menerbitkan Surat Keterangan Kematian itu. Cara kerja seperti ini tentu saja sangat mengecewakan, karena bisa menumbuhkan citra yang negatif bagi pemerintah," ujarnya.

"Seharusnya ketika ada WNI yang meninggal di negara lain akibat eksploitasi, Kemenlu dan KBRI hendaknya responsif untuk menunjukan kehadiran negara dan pemerintah," tegasnya.

Sementara itu Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin berharap pemerintah mengusut tuntas kasus pelarungan jenazah ABK.

Menurut Din, sesuai amanat konstitusi untuk melindungi segenap rakyat Indonesia, pemerintah harus mengusut perkara tersebut dan mengajukan protes ke pihak-pihak yang bertanggung jawab atas pelarungan jenazah ABK asal Indonesia, termasuk kepada pemerintah China yang menaungi kapal tempat ABK itu bekerja.

Dia mengatakan pelarungan jenazah ABK sebagai tindakan di luar perikemanusiaan dan sebagai bangsa yang berpegang kepada Pancasila dengan prinsip adil dan beradab, Indonesia tidak boleh membiarkannya begitu saja.

Admin
Penulis