Waspadai Malapraktik di Pilkada 2020

fin.co.id - 25/04/2020, 03:15 WIB

Waspadai Malapraktik di Pilkada 2020

Pesawat milik maskapai Citilink terdampak abu vulkanik erupsi Gunung Ruang di Bandara Sam Ratuangi, Manado, Sulawesi Utara

JAKARTA - Bawaslu menyebut, adanya potensi malapraktik elektoral akibat penundaan pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 yang disetujui DPR dan pemerintah dilaksanakan pada 9 Desember mendatang. Salah satunya soal daftar pemilih.

Setidaknya ada dua tahapan pemilihan yang memerlukan kontak langsung dengan pemilih. Yaitu pemutakhiran data pemilih (mutarlih) dan verifikasi data dukungan calon perseorangan. Ketua Bawaslu Abhan mengatakan, jika pemungutan suara dilaksankan pada 9 Desember, maka tahapan mutarlih dan verifikasi data calon perseorangan sudah dimulai Mei sampai Juni.

Potensi kedua, lanjutnya, regulasi terkait dengan penyelengaraan yang belum jelas. "Mudah-mudahan April, Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) selesai. Setelah itu, KPU harus segera menyusun beberapa Peraturan KPU (PKPU) yaitu PKPU Tahapan, revisi PKPU mutarlih, revisi verifikasi dan lain sebagainya," jelas Abhan di Jakarta, Jumat (24/4).

Selanjutnya ada kemungkinan abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) oleh petahana. Abhan menyebutkan berdasarkan hitungan Bawaslu dari 270 daerah yang akan melaksanakan pillkada, setidaknya ada 224 daerah dengan calon petahana yang bakal kembali maju.

"Saat situasi pandemik COVID -19, banyak hal yang terjadi di lapangan dan sulit untuk membedakan kegiatan kemanusiaan murni atau kegiatan kampanye yang kebetulan berasal dari petahana. Sudah banyak laporan dari daerah. Misalnya membagikan sembako dan alat kesehatan, tetapi lambangnya tidak menggunakan lambang pemerintah daerah," tambah Abhan.

Kemudian, adanya potensi pembelian suara. Menurutnya, hal ini bisa makin marak terjadi, terlebih saat situasi musibah COVID-19 lantaran ekonomi terpuruk. "Kemungkinan potensi terjadinya pembelian suara atau politik uang akan banyak," terang Abhan.

Terakhir adalah terkait dengan kampanye dan logistik. Abhan mempertanyakan kesiapan logistik jika pelaksanaan pemungutan suara digelar 9 Desember 2020. "Jika pilkada dilaksanakan 9 Desember, apakah logistik bisa terselesaikan tepat pada waktunya. Karena logitik ini menyangkut pihak lain. Misalnya soal perusahaan pencetak, ketersediaan bahan, dan soal pendistribusian," ucapnya.

Selanjutnya, Abhan menerangkan soal revisi Perppu tentang metode kampanye. Pasalnya dalam UU Pilkada 10/2016 ditegaskan soal metode kampanye. “Bahkan dalam UU Pemilihan itu juga menyebutkan kewajiban KPU memfasilitasi bahan kampanye pilkada. Apakah KPU bisa tepat waktu dalam memfasilitasi bahan kampanye untuk bahan pilkada?," tanya Abhan.

Sementara itu, Ketua KPU RI Arief Budiman meminjam istilah malapraktik dari Rafael Lopez Pintor. Yaitu tindakan pelanggaran terhadap integritas pemilu. Baik disengaja maupun tak disengaja, legal maupun ilegal.

Kecurangan pemilu dalam penjabaran tersebut baginya bentuk malapaktik pemilu yang paling serius. Karena dilakukan dengan melanggar prosedur dan mengubah hasil pemilu. Baik oleh penyelenggara, pejabat pemerintah maupun calon. "Apa yang disampaikan oleh Pintor itu faktual dan banyak terjadi di lapangan. Tidak sengaja, tidak sadar itu dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Sementara yang dilakukan sengaja oleh ada peserta pemilu, konstituen, dan lainnya," beber Arief.

Pelanggaran Netralitas ASN Mendominasi

Bawaslu telah memeriksa 368 kasus dugaan pelanggaran netralitas aparatur sipil negara (ASN) sampai dengan 18 April. Rinciannya, sebanyak 39 kasus dihentikan, 5 kasus dalam proses pemeriksaan, dan 324 kasus telah direkomendasikan ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). “Ini menunjukkan tren pelanggaran selalu mengalami kenaikan,” ujar Koordinator Divisi Penindakan Bawaslu, Ratna Dewi Pettalolo.

Dia menyebutkan, kasus tertinggi dugaan pelanggaran netralitas ASN terjadi di Maluku Utara dengan 49 kasus. Kasus tertinggi pelanggaran para abdi negara menyusul Sulawesi Tenggara dengan 44 kasus, Nusa Tenggara Barat 39 kasus, Sulawesi Tengah 32 kasus, Sulawesi Selatan 32 kasus. Sedangkan di Provinsi Bangka Belitung, Bengkulu, Riau, Sumatera Selatan, Bali, Papua Barat, Maluku dan Kalimantan Utara belum ditemukan kasus dugaan pelanggaran netralitas ASN.

Dewi memaparkan, bentuk-bentuk dugaan pelanggaran netralitas ASN paling banyak adalah ASN yang memberikan dukungan melalui media sosial atau media massa dengan 112 kasus. Pelanggaran ASN yang melakukan pendekatan maupun mendaftarkan diri pada salah satu partai politik sebanyak 81 kasus.

"Melakukan sosialiasi bakal calon melalui alat peraga kampanye (APK) sebanyak 34 kasus,” jelasnya. Sedangkan untuk dugaan pelanggaran Pilkada 2020, lanjut Dewi, berupa temuan sebanyak 552 kasus. Untuk laporan dari masyarakat sebanyak 108 kasus, dan sebanyak 132 kasus dinyatakan bukan pelanggaran.

Admin
Penulis