”Waktu lomba, saya bisa sampai menyebut nama tamu sembilan kali,” ujar Rizal.
Pun saat menyelesaikan masalah mobil sang tamu. Rizal yang paling cepat waktunya dan benar prosesnya.
Begitu ditugaskan menjadi kepala bengkel di Mojokerto itu Rizal pun tahu: ini bukan lagi hanya masalah kepintaran teknis. Ini sudah menyangkut kemampuan manajemen dan leadership.
Tapi yang lebih penting lagi: ini menyangkut mimpi untuk bisa mendapat jabatan kepala bengkel seperti ayahnya.
Ia tahu mengapa pemilik bengkel di Mojokerto itu tidak puas dengan dua temannya terdahulu: bengkel baru dan besar itu sering kosong. Setiap bulan hanya 14 mobil yang diservis di situ.
Rizal tidak mempersoalkan bahwa ia harus kehilangan status sebagai karyawan bengkel Honda. Ia harus pindah menjadi karyawan pengusaha Mojokerto itu.
Rizal tidak peduli. Toh ini penugasan dari Honda.
Pun ketika ternyata gajinya di Mojokerto lebih rendah dari apa yang ia terima di bengkel Honda Surabaya.
Rizal tahu: kalau bengkel Mojokerto itu nanti maju penghasilannya pun akan ikut naik. Begitulah sistem pengganjian di bengkel. Selalu dikaitkan dengan prestasi dan hasil kerja.
Begitu pindah ke Mojokerto Rizal pun melapor ke ayahnya: sudah berhasil menjadi kepala bengkel. Di usianya yang 29 tahun. Jauh lebih cepat dari yang dicapai sang ayah. Yang baru bisa menjadi kepala bengkel di umur 46 tahun. Itu pun bengkel kecil.
”Sepertinya ayah saya lebih bangga dari saya sendiri,” ujar Rizal sambil senyum.
Tentu Rizal juga memberitahu sang ibu --yang menyumbangkan 50 persen bentuk wajahnya: antara wajah Jawa dan Tionghoa. Sang ibu memang asli Tionghoa yang lahir di Bali. ”Tapi saya tidak bisa bahasa Mandarin seperti ibu,” ujar Rizal.
Dulunya sang ibu adalah kasir di depot kecil dekat sebuah bengkel. Ayahnya sering makan di depot itu. Lalu pacaran --dan kawin.
”Ayah-ibu saya sangat bangga. Saya juga bahagia melihat mereka,” ujar Rizal.
Pengusaha Mojokerto itu pun puas. Dari hanya 14 mobil langsung menjadi 200 mobil/bulan.