JAKARTA, FIN.CO.ID - Aturan penggunaan pengeras suara masjid terus menjadi perbincangan.
Dewan Masjid Indonesia (DMI) pun memberikan komentarnya terkait aturan yang dikeluarkan Kementerian agama tersebut.
Sekretaris Jenderal DMI Imam Addaruqutni menyebut aturan tersebut sebagai sebuah langkah yang baik. Dia mengatakan pengeras suara memang sudah semestinya diatur agar menciptakan kesyahduan saat menggelar pengajian atau syiar keagamaan di masjid/mushala.
(BACA JUGA: Komentari Aturan Pengeras Suara Masjid, PBNU: Penerapan Aturan Harus Sesuai Kondisi...)
"Bukan hanya soal harmoni atau heterogenitas tapi sebenarnya umat Islam sendiri perlu diperhatikan kesehatan. Syiarnya tetap jalan tapi tetap mengatur tingkat kesyahduan. Jadi diperlukan pengaturan-pengaturan," ujarnya, Selasa, 22 Februari 2022.
Diungkapkannya, meski sebelumnya sudah ada pengaturan soal pengeras suara, namun seiring dengan populasi masyarakat Muslim, maka berimplikasi pada banyaknya masjid di sekitar lingkungannya.
Banyaknya pertumbuhan masjid itu tidak diikuti dengan aturan pengeras suara.
(BACA JUGA: Pengeras Suara Masjid Diatur, Begini Respon Muhammadiyah)
Dicontohkannya, di Jakarta terdapat sekitar 4.000 masjid/mushala yang mayoritas memiliki empat pengeras suara luar.
Kondisi itu sebenarnya tidak efektif karena suara yang dikeluarkan malah berbenturan, jauh dari kata kesyahduan.
"Kesyahduan suara speaker masjid kadang-kadang terganggu karena berbenturan antar-speaker. Suara itu berbenturan jadi ini juga bermasalah," ungkapnya.
Menurut dia, Ketua Umum DMI Jusuf Kalla sebenarnya sering mengingatkan akan pentingnya pengaturan suara di masjid saat kunjungan-kunjungan ke wilayah.
Maka dengan adanya SE 05/2022 ini akan semakin menguatkan apa yang diperjuangkan oleh mantan Wakil Presiden Indonesia tersebut.
Kendati demikian, kata dia, pedoman harus disosialisasikan secara masif agar tidak terjadi kesalahan persepsi di masyarakat. Selain itu, aturannya pun harus fleksibel (tidak kaku) mengingat di sejumlah wilayah, utamanya desa, pengeras suara telah menjadi tradisi.
"Penerapannya harus bertahap, tidak seketika karena ada perbedaan antara kultur di masyarakat kota dengan desa. Di desa dan sebagian wilayah perkotaan speaker masjid sudah tradisi, tapi mengubah tradisi tidak serta merta enak, bahkan komentarnya kadang kurang sedap bagi para pemangku tradisi itu," kata dia.