Indonesia Bisa Menjadi Juru Damai Laut Cina Selatan

Indonesia Bisa Menjadi Juru Damai Laut Cina Selatan

SLEMAN - Tensi di Laut Cina Selatan mulai bergejolak. Perlahan-lahan, Cina mulai mengklaim wilayah-wilayah perairan milik negara lain di sana, bahkan di tengah pandemi Covid-19 sekalipun. Sejumlah cara dilakukan mulai dari melarang pencarian ikan, menenggelamkan kapal, hingga membentuk wilayah administrasi baru secara sepihak. Ketegangan tersebut menjadi bahasan dalam bincang virtual dunia maritim bersama Pusat Studi Sumber Daya dan Teknologi (PUSTEK) Kelautan Universitas Gadjah Mada. Rektor UGM Prof Panut Mulyono menyatakan urusan tapal batas di lautan menjadi penting untuk dibahas mengingat laut memang menjadi sumber kehidupan bangsa kita. Utamanya, ia menyebut untuk lautan yang menjadi batas maritim antar negara. “Batas maritim suatu negara berpotensi menimbulkan konflik jika belum jelas. Hal itu karena hukum internasional dan geopolitik kawasan yang melingkupinya dianut secara berbeda bagi masing-masing negara,” terangnya dalam siaran pers UGM, kemarin. Dubes Indonesia untuk Republik Federasi Jerman Arif Havas Oegroseno yang diundang dalam bincang virtual itu membenarkan pendapat Panut tersebut. Untuk kasus Laut China Selatan, ia menyebut ada 6 negara yang memperebutkannya, yakni Brunei, China, Malaysia, Filipina, Taiwan RRC, dan Vietnam. Hal ini menjadikannya sebagai sengketa kedaulatan yang melibatkan lebih dari dua pihak. “Masing-masing pihak mengajukan masing-masing klaimnya terhadap kedaulatan di Laut China Selatan,” ungkapnya. Sementara itu, Havas menjelaskan bahwa Indonesia selama ini tidak mengajukan klaim. Selama ini menurutnya, Indonesia menghormati hukum laut internasional dan hanya menegaskan rule of law. ”Sejak dahulu kita telah mengajukan berbagai dasar hukum ke PBB terkait batas-batas kedaulatan maritim negara kita dan kala itupun China tidak mengajukan protes sama sekali,” ungkapnya. Akan tetapi pada tahun 2009, China memublikasikan peta 9-dashed-line melalui Nota Diplomatik China ke PBB. Empat negara, yakni Indonesia, Malaysia, Vietnam, dan Filipina mengajukan protes melalui Nota Diplomatik ke PBB. Nota Diplomatik yang diajukan Indonesia berisi penegasan Indonesia bukan negara pihak dalam sengketa Laut China Selatan. Lalu, pulau, batuan, karang di Spratly tidak memiliki ZEE atau landas kontinen. Terakhir, penolakan 9-dashed-line. Havas menyebut posisi Indonesia, seperti yang telah dirinya sebut sebelumnya, yakni hanya menegaskan rule of law dalam hubungan Internasional. Lebih lanjut, dinamika semakin memburuk karena kekuatan ekonomi China yang semakin besar yang menyebabkan terjadinya rivalitas dengan AS. Dengan hal itu, Havas menyebut peluang untuk menyelesaikan sengeketa Laut China Selatan semakin sulit, terlebih karena melibatkan lebih dari dua negara. Dalam kondisi ini, Havas menyarankan daripada memaksakan diri untuk penyelesaian sengketa lebih baik mengubah strategi menjadi pengelolaan sengketa. “Penyelesaian menjadi tidak mungkin karena kedua pihak saling tumpang tindih klaimnya. Pengelolaan sengketa lebih mudah dicapai terlebih untuk menghindari konflik antara AS-China yang tengah dalam strategic rivalry,” terangnya. Terakhir, Havas menyebutkan dengan mengusung pengelolaan sengketa, kebijkan pembangunan 5 pilar di Natuna dapat terus dilakukan. Selain itu, dalam strategic rivalry US-China, Indonesia tidak perlu memilih kubu dan tetap bisa berkerja sama dengan keduanya dalam perdagangan. “Bahkan Indonesia bisa menjadi peace facilitator antara kedua kubu melalui trilateral strategic dialogue,” pungkasnya. (fin/tgr)

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


admin

Tentang Penulis

Sumber: