Rencana Investasi JETP Masih Berpihak Setengah Hati kepada Transisi Energi Hijau

Rencana Investasi JETP Masih Berpihak Setengah Hati kepada Transisi Energi Hijau

Rencana Investasi JETP Masih Berpihak Setengah Hati kepada Transisi Energi Hijau--Istimewa

BACA JUGA

Dian Sunardi, Arise! Indonesia, juga mengaku kecewa dengan adanya usulan teknologi solusi palsu dalam dokumen CIPP, seperti co-firing biomassa. Pasalnya, solusi palsu terbukti tidak akan efektif dalam mengurangi emisi.

Bahkan, adanya solusi palsu justru memperkaya segelintir individu-oligarki, mempromosikan privatisasi dan komodifikasi sumberdaya ekologis, dan membebaskan korporasi yang berkontribusi terhadap krisis iklim (polluters) dari tanggung jawabnya. 

“Dan yang paling penting, malah akan memperparah krisis iklim dan merusak masa depan transisi energi Indonesia. Indonesia harus mengambil sikap tegas, menyatakan tidak pada solusi palsu dan mengeluarkannya dari CIPP,” Dian menegaskan. 

Perbesar Dana Hibah  

Koalisi CSO juga menyoroti porsi utang dan hibah dalam dana JETP. Bhima mengungkapkan, pendanaan dari negara maju (International Partners Group/IPG) sangat tidak menjunjung prinsip berkeadilan. Utamanya, Amerika Serikat yang jumlah pinjaman non-konsensionalnya sangat besar. Hal ini berarti Indonesia akan menanggung pinjaman dengan bunga pasar. 

“Apa fungsinya menunggu dokumen CIPP JETP dirilis kalau kesepakatan dengan negara maju hanya biasa saja, masih pinjaman yang sifatnya business as usual?” kata Bhima. 

Senada, Pius Ginting, Koordinator Perkumpulan AEER menyatakan, Sekretariat JETP dan Pemerintah Indonesia harus berjuang meningkatkan porsi hibah dalam pendanaan JETP. 

Jepang sebagai anggota IPG perlu meningkatkan tanggung jawab pendanaan dalam bentuk hibah, mengingat perannya dalam investasi PLTU di Indonesia, sebagai pasar ekspor batu bara, dan kontribusi pada emisi sektor transportasi di mana sebagian besar kendaraan yang ada di pasar masih terkait investasi Jepang. 

“Sikap yang lebih baik diberikan oleh Jerman dengan mengalokasikan US$ 167 juta dalam bentuk hibah atau technical assistance, atau 10% dari jumlah pendanaan publik oleh Jerman. Porsi jumlah hibah ini juga seharusnya menjadi acuan bagi negara IPG lainnya sebagai pelaksanaan dari prinsip common but differentiated responsibility dalam pendanaan mengatasi planet yang kian mendidih panas,” tegasnya. 

Tak hanya itu, Bhima menggarisbawahi absennya berbagai reformasi kebijakan fiskal dan moneter untuk segera diimplementasikan. Padahal, JETP diharapkan membawa perubahan kerangka kebijakan fiskal dan moneter yang mendukung percepatan pensiun PLTU batu bara.  

“Kami belum melihat langkah teknis yang dibutuhkan untuk menggeser insentif fiskal pada sektor pertambangan dan migas untuk membuat bisnis fosil secara ekonomis kurang menarik dibandingkan energi terbarukan. Dari segi perpajakan juga tidak tersentuh, maka JETP ini justru menunjukkan silo-silo pembahasan yang belum komprehensif. Waktu untuk revisi CIPP JETP diharapkan menyatukan seluruh aspek kebijakan pemerintah yang harus dirubah secepatnya,” ungkap dia. 

Perlu Memihak Masyarakat 

Verena Puspawardani, Direktur Program Koaksi Indonesia, mengingatkan bahwa dokumen CIPP perlu terus dikawal agar menjadi rekomendasi yang kuat bagi Satuan Tugas Transisi Energi Nasional. Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, partisipasi masyarakat, dan merangkul pemerintah daerah dalam mengelola transisi energi berkeadilan dengan pemetaan kebijakan hingga ke tingkat daerah. Selain itu, penerapan kesetaraan gender, disabilitas, dan inklusi sosial (GEDSI) juga harus menjadi landasan yang memprioritaskan beragam kelompok rentan dan komunitas terdampak.  

Dokumen CIPP, kata dia, juga mengakui bahwa transisi energi akan mendorong terciptanya pekerjaan hijau (green jobs), serta memperhitungkan potensi lapangan kerja yang hilang dan langkah mitigasinya. Untuk itu, peningkatan kapasitas pekerja menjadi penting agar tetap dapat terserap di ekosistem energi terbarukan. Selain itu, sektor industri lain perlu dikembangkan untuk mengurangi dampak meningkatnya pengangguran baru.  

“Terkait green jobs, pemerintah telah memiliki inisiatif memajukan green jobs dengan adanya peta jalan. Hal ini perlu dimasukkan ke dalam dokumen CIPP untuk memperkuat kebijakan nasional dan regional sehingga memastikan kebijakan tersebut dimanfaatkan,” tutur Verena.  

Sisilia Nurmala Dewi, Indonesia Team Lead 350.org menambahkan, dokumen CIPP hanya fokus pada pengembangan energi terbarukan skala besar dan justru mengabaikan energi terbarukan berbasis masyarakat. Hal ini menyalahi prinsip utama transisi berkeadilan, yakni 'leave no one  behind'. 

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


Afdal Namakule

Tentang Penulis

Sumber: