Dampak Serakahnomic tidak hanya terlihat dari ketidakadilan, tetapi juga dari beban yang ditimbulkannya pada keuangan negara. Utang pemerintah per 31 Oktober 2024 tembus Rp 8.560,36 triliun. Nilai utang itu naik sekitar 1,02% dibanding posisi per akhir September 2024 sebesar Rp 8.473,90 triliun. Nilai utang itu membuat rasio utang terhadap PDB atau debt to GDP ratio ke posisi 38,66% atau naik dari posisi bulan sebelumnya yang sebesar 38,49%.
Angka ini menunjukkan bahwa dana yang seharusnya dapat digunakan untuk program kesejahteraan rakyat, seperti subsidi, pendidikan, atau kesehatan, justru habis untuk membayar utang.
Data Peningkatan beban ini, ditambah dengan terindikasi kerugian negara dari Tax Justice Network melaporkan bahwa Indonesia kehilangan pendapatan negara akibat praktik penghindaran pajak, termasuk transfer pricing sekitar Rp 68,7 triliun pada tahun 2020, menunjukkan betapa seriusnya ancaman Serakahnomic terhadap stabilitas fiskal dan masa depan bangsa.
Tantangan Berantas Serakahnomic
Serakahnomic bukan hanya fenomena, melainkan sebuah sistem segelintir elite serakah yang terstruktur, menggabungkan kekuasaan politik dengan kepentingan bisnis. Praktik ini terlihat dari hubungan politik yang memberikan hak monopoli kepada kroni-kroni penguasa di sektor-sektor strategis.
Data Transparency International menunjukkan bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2023 adalah 34 dari 100, yang stagnan dari tahun sebelumnya. Angka ini membuktikan bahwa virus Serakahnomic ini masih mengakar kuat. Kajian INDEF menunjukkan praktik regulatory capture ini terlihat dari pembuatan kebijakan yang menguntungkan kelompok bisnis tertentu di sektor komoditas dan logistik.
Upaya pemberantasan praktik ini oleh Ditjen Pajak (DJP) dan BPK sering kali terhambat oleh celah hukum dan lobi-lobi politik. Laporan DJP dan BPK menunjukkan bahwa masih banyak perusahaan besar yang tidak patuh membayar pajak, terutama di sektor pertambangan dan perkebunan, yang merupakan ladang subur bagi Serakahnomic.
Jika posisi-posisi kunci di sektor ekonomi dan hukum, seperti di Kementerian Keuangan, ATR/BPN, ESDM, Pertanian, Kehutanan, Perdagangan, hingga di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Aparat Penegak Hukum diisi oleh orang-orang yang memiliki rekam jejak terkait segelintir elite, maka keinginan berantas Serakahnomic hanyalah ilusi.
Maka itu, tuntutan untuk audit rekam jejak dan uji publik (public vetting) yang melibatkan masyarakat menjadi sangat penting dan mutlak diperlukan.
Hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik dan bersih yang diamanahkan dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, dan diperkuat oleh UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Masalah Kritis dan Solusi untuk Berantas Serakahnomic di 5 Sektor Darurat
1. Agraria dan Pertanahan Nasional
Sektor ini adalah titik sentral di mana Serakahnomic berakar. Praktik perampasan tanah (land grabbing), dualisme sertifikasi, dan monopoli kepemilikan lahan oleh sekelompok elite adalah masalah kronis.