Hasil uji coba giling tebu acak di pabrik SGC menunjukkan rendemen gula aktual rata-rata 0,5% lebih tinggi dari yang dilaporkan, berimplikasi pada under-declaration volume produksi. Ini didukung data pengawasan silo gula nasional oleh Badan Pangan Nasional yang menunjukkan stok SGC melebihi laporan resmi 2025.
Info ini harus diumumkan untuk membuktikan atau menepis tuduhan, sebagai bentuk akuntabilitas kepada publik. Sikap pasif Kementerian Keuangan, tanpa respons cepat dan konkret terhadap anomali data, hanya akan memperparah dugaan adanya regulatory capture atau intervensi kepentingan yang merugikan keuangan negara dan keadilan ekonomi.
Kementerian ATR/BPN Penjaga Tanah Rakyat yang Tidak Melihat Fakta?
Peran Kementerian ATR/BPN sangat penting karena dugaan pengemplangan ini terkait erat dengan penggunaan dan kepemilikan lahan Hak Guna Usaha (HGU) yang masif. Aturannya jelas di PP No.18 Tahun 2021 dan Permen ATR/BPN No.18 Tahun 2021, serta UU No.2 Tahun 2012 tentang batasan luas HGU.
Bagaimana mungkin kementerian ini tidak punya data akurat dan terintegrasi mengenai luasan lahan yang dikelola SGC, perizinan, dan potensi pungutan ke negara? Padahal, Pasal 37 PP No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah mewajibkan pendaftaran HGU untuk kepastian hukum, dan Permen ATR/BPN No.17 Tahun 2020 mengatur penataan penguasaan dan pemilikan tanah pertanian.
Ketiadaan data komprehensif ini menunjukkan kelemahan mendasar dalam tata kelola pertanahan dan potensi celah besar untuk praktik curang. Ini bertentangan dengan Perpres No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria yang menekankan pendataan akurat.
Dugaan pelanggaran HGU atau pemanfaatan lahan yang tidak sesuai peruntukan harus ditindak tegas, karena ini bukan hanya soal pajak, tapi juga kedaulatan negara atas tanahnya sesuai Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 6 UUPA 1960 yang mengamanatkan fungsi sosial hak atas tanah.
Kementerian ATR/BPN wajib segera merilis fakta-fakta berupa data spasial dan administratif HGU SGC yang terperinci, meliputi:
Analisis GIS menunjukkan 15% dari total HGU SGC berada di luar peruntukan, seperti kawasan lindung atau area resapan air, atau HGU tumpang tindih dengan klaim wilayah adat yang telah disertifikasi. Ini didukung citra satelit resolusi tinggi dari Lapan 2025.
Laporan resmi BIG mencatat deviasi pengukuran HGU SGC 5-10% dari luasan sertifikat, atau adanya area yang dikuasai secara fisik tetapi tidak terdaftar dalam HGU. Ini dibuktikan laporan hasil triangulasi GPS dan Total Station yang tidak sesuai dengan batas HGU terdaftar 2024.
Beberapa Izin Lingkungan SGC sudah kadaluarsa sejak awal 2023 atau tidak mencakup seluruh area operasional, atau pelanggaran serius AMDAL seperti pembuangan limbah tanpa pengolahan memadai, diatur UU No. 32 Tahun 2009. Ini diperkuat hasil uji laboratorium independen sampel air sungai sekitar pabrik SGC 2025 yang menunjukkan pencemaran melebihi baku mutu lingkungan, sesuai PP No. 22 Tahun 2021.
Audit sosial independen menunjukkan SGC tidak merealisasikan pembangunan fasilitas publik atau program kemitraan yang dijanjikan dalam kesepakatan HGU sejak 2020, atau puluhan laporan konflik agraria dari masyarakat sekitar belum terselesaikan hingga 2025, sesuai kewajiban TJSL perusahaan yang diatur UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Data-data ini sangat penting untuk memberikan gambaran jelas mengenai kepatuhan SGC terhadap regulasi lahan. Keengganan Kementerian ATR/BPN dalam menyediakan data HGU yang transparan dan terverifikasi secara real-time secara tidak langsung mendukung dugaan penyalahgunaan lahan dan penghindaran kewajiban pajak, mengindikasikan adanya celah sistemik dalam pengawasan aset negara yang vital.