1. Kejagung perlu mengembangkan penyidikan berdasarkan pengakuan ini, pakai forensic intelligence (analisis data besar, pola transaksi, intelijen keuangan) untuk mengorek semua jaringan yang terlibat. Ini sejalan dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang terstruktur dan terorganisir.
2. Mahkamah Agung perlu membentuk Tim Audit Khusus Independen untuk meninjau ulang putusan yang mungkin tercemar. Hal ini untuk menjaga integritas peradilan dan sesuai dengan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim serta UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
3. Program Justice Collaborator dan perlindungan saksi juga harus dioptimalkan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Hal ini diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 31 Tahun 2014.
4. Penting juga untuk memberi ruang untuk pihak SGC untuk menguji validitas pengakuan Zarof Ricar, agar keadilan substantifnya benar-benar terasa. Ini merupakan bagian dari hak pembelaan yang dijamin oleh KUHAP.
Penyitaan Aset dan Pemulihan Kerugian Negara
Ini dia yang menyebabkan keprihatinan. Kejagung sudah sita uang tunai sekitar Rp915 miliar hingga hampir Rp1 triliun di rumah Zarof Ricar, dan ini sudah divalidasi PPATK. Berbagai aset lain juga diblokir: 5 bidang tanah dan bangunan mewah di Pondok Indah (sekitar Rp450 Miliar); 3 mobil mewah (Rolls-Royce, Lamborghini, Ferrari) senilai Rp300 Miliar; rekening bank (saldo terblokir Rp150 Miliar); serta saham di setidaknya 2 perusahaan publik (nilai Rp50 Miliar). Fantastis. Tindakan ini sesuai prinsip asset recovery dalam UU TPPU dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penyitaan aset juga diatur dalam KUHAP, khususnya Pasal 38 sampai dengan Pasal 46.
Rekomendasi untuk Pemulihan Aset:
1. Perlu sekali ada penguatan Satuan Tugas Nasional Pemulihan Aset dengan mandat yang jelas, didukung teknologi canggih (big data analytics, AI, blockchain forensics) dan sumber daya yang memadai. Koordinasi antarlembaga (Kejagung, KPK, PPATK, DJKN, OJK, BEI) juga harus diperkuat. Hal ini sejalan dengan semangat INPRES Nomor 7 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi yang mendorong sinergi antarlembaga.
2. Mendesak pengesahan UU Perampasan Aset yang progresif untuk mempercepat pengembalian kerugian negara. Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset ini sangat krusial untuk mengisi kekosongan hukum dalam pemulihan aset tanpa perlu pembuktian pidana terlebih dahulu.
3. Membentuk Dana Perwalian (Trust Fund) yang transparan untuk menampung hasil sitaan, diawasi tim independen. Pengelolaan hasil kejahatan dan aset yang disita dapat diatur lebih lanjut dalam peraturan turunan dari UU TPPU atau RUU Perampasan Aset.
4. Meningkatkan kerja sama internasional untuk pelacakan dan repatriasi aset lintas negara. Hal ini didasarkan pada prinsip mutual legal assistance (MLA) yang diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana.
5. Pastikan penyitaan aset sesuai prosedur hukum agar tidak ada gugatan balik. Kepatuhan terhadap KUHAP dan peraturan perundang-undangan terkait sangat penting untuk mencegah gugatan praperadilan atau gugatan lain yang dapat menghambat proses pemulihan aset.
Penggeledahan dan Desakan Masyarakat
Penggeledahan di rumah Purwanti Lee (Jakarta Selatan, akhir Mei 2025) adalah tindak lanjut penyidikan. Dan yang menjadikan semangat, ada desakan kuat dari masyarakat sipil yang menuntut tindakan lebih lanjut dari Kejagung dan KPK. Penggeledahan ini sah secara hukum apabila didasarkan pada surat perintah penggeledahan dari penyidik dan penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri, sesuai KUHAP Pasal 33.
Respons yang Diperlukan: