Catatan Dahlan Iskan . 18/05/2025, 06:00 WIB
Maka upaya MBS untuk membuat Amerika mencabut sanksi untuk Syria begitu mulianya. Syria perlu kedamaian, perbaikan ekonomi, dan harapan untuk sejahtera. Posisi Syria yang diblokade Barat selama hampir 50 tahun membuatnya menjadi negara gagal.
Trump sudah bersedia mencabut blokade itu. Entah seperti apa rayuan MBS sampai membuat Trump mau banting stir seperti itu. Rayuan dan tawaran mungkin kombinasi yang sempurna. Misi plus gizi.
Memang masih ada syarat yang diminta Trump: Syria harus mau menandatangani Deklarasi Ibrahim. Semacam kerukunan sesama keturunan Nabi Ibrahim. Maksudnya: agar mau berdamai dengan Israel.
Syarat itu bisa membuat soliditas pendukung Ahmad Sharaa pecah. Tentu ada pendukung yang keberatan. Syria sudah kehilangan wilayah besar pegunungan Gholan –diduduki Israel sejak perang 1973. Tentu juga ada faksi yang berpendapat: kami memang sesama keturunan Ibrahim, tapi beda ibu. Anda sudah hafal cerita ini.
Kehadiran Tayyip Erdogan juga hebat. Itu telah mengakhiri permusuhan 10 tahun antara Erdogan dan MBS.
Erdogan pernah membongkar keterlibatan MBS dalam pembunuhan tokoh oposisi Arab Saudi di Istanbul: Adnan Kashoggi. Tokoh ini dibunuh dalam satu operasi intelijen antar negara.
Saat itu Kashoggi sedang mengurus surat di kedutaan Saudi di Istanbul untuk mengawini gadis Turkiye pujaan hati.
Saya sulit membayangkan jalannya pertemuan para tokoh persimpangan di istana di Riyadh itu. Mungkin penuh nostalgia. Ahmad Sharaa sendiri lahir di Riyadh. Yakni ketika ayahnya, orang asli dataran tinggi Gholan, bekerja sebagai engineer di perusahaan minyak di Riyadh. Ibunya juga bekerja di Riyadh: jadi guru geografi.
Sepulang dari Riyadh, keluarga ini tinggal di ibu kota Syria, Damakus. Mereka membuka toko. Si kecil Ahmad Sharaa membantu jadi penjaga toko, termasuk ikut melayani pembeli.
Ketika Ahmad Sharaa tumbuh jadi remaja terjadilah gerakan intifada kedua di Palestina. Hatinya tergerak untuk ikut berjuang melawan penindasan. Ia menghilang dari rumah.
Tahun 2003, di umur 21 tahun, ia berada di Iraq. Ia ikut Al-Qaeda. Tiga minggu kemudian Amerika menyerang Iraq. Kekuasaan Saddam Hussein runtuh. Ahmad Sharaa terus berjuang bersama musuh Amerika.
Tiga tahun melawan Amerika, Ahmad Sharaa tertangkap. Yakni saat ia sedang memasang bahan peledak. Lima tahun lamanya ia berpindah-pindah penjara. Kegiatannya di penjara sangat positif: mengajar. Ia mengajari sesama penghuni penjara pelajaran sastra Arab.
Dengan kronologi seperti itu rasanya tidak mungkin ia jadi tokoh penting Al-Qaeda di Iraq. Ia lebih banyak di penjara daripada di lapangan.
Mungkin Ahmad Sharaa bisa bercerita kepada Trump bagaimana ia bisa dilepaskan dari tahanan Amerika. Saat itu di Syria sedang menguat perlawanan untuk menggulingkan diktator Bashar al-Assad. Keluar dari penjara, Ahmad Sharaa langsung pulang ke Syria. Ia bergabung ke gerakan perlawanan itu.
Di gerakan itu ia berhasil menyatukan berbagai kekuatan. Sampai ketika berhasil menggulingkan Al Assad, dipilihlah Ahmad Sharaa sebagai kepala negara.
PT.Portal Indonesia Media
Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210
Telephone: 021-2212-6982
E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com