Kami, saat itu, jadi tontotan jamaah di Baghdad. Sungkeman cara Jawa. Lalu dihampiri cucu turunan ke-27 Syekh Abdul Qadir Jailani. Diajak makan bersama di rumah beliau di komplek masjid.
Tapi masjid di kampung ini penuh sesak. Jamaah wanitanya sama banyak dengan yang laki-laki. Halaman pun terpakai. Tidak mungkin sungkeman di situ. Pindah ke tempat kami menginap. Seadanya. Halaman basah. Tempat parkir basah. Lapangan basketnya juga basah.
Bagi cucu-cucu, yang penting bukan sungkemannya: tapi nenek mereka. Terutama isi tasnyi. Lebaran bisa di mana saja, tapi tas itu harus ada.(Dahlan Iskan)