fin.co.id - Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputro menilai, dalih penembakan bos rental mobil oleh oknum prajurit TNI AL adalah tindakan membela diri akibat adanya pengeroyokan sangat keliru dan bersifat prematur.
Pernyataan Pangkoarmada RI ini juga bertentangan dengan pernyataan anak korban yakni Agam Muhammad Nasrudin yang pada saat kejadian berada di lokasi kejadian dan melihat langsung kejadiannya. Sehingga, pernyataan ini dianggap sangat melukai hati keluarga korban yang sedang mencari keadilan.
"Dalam kesaksiannya Agam menyampaikan bahwa tidak ada pengeroyokan dalam kejadian tersebut. Ia juga menjelaskan bahwa pada saat melakukan pengejaran sebelum masuk rest area KM 45, mereka dan tim bahkan sudah terlebih dahulu ditodong dan diancam akan ditembak dengan senjata api, ketika hendak menghentikan mobil rental yang dibawa oleh komplotan pelaku," kata Ardi dalam keterangannya, Kamis 9 Januari 2025.
Kata Ardi, Imparsial juga melihat bahwa Puspomal belum meminta keterangan dari keluarga korban dan sejumlah saksi yang melihat langsung kejadiannya. Perlu dicatat bahwa oknum anggota TNI AL tersebut jelas-jelas tidak memiliki itikad baik untuk menguasai mobil milik pengusaha rental tersebut.
"Jadi di sini jelas ada niat jahat dari si pelaku. Untuk itu, sebagai orang yang berniat jahat, penembakan yang dilakukan oknum TNI AL tersebut bukanlah bentuk pembelaan diri, melainkan upaya untuk bersama-sama meloloskan diri," ujarnya.
Maka dari itu, dalih penembakan dilakukan atas dasar untuk membela diri sebagaimana yang disampaikan Pangkoarmada jelas-jelas keliru. Pangkoarmada dan Puspomal terkesan melindungi oknum anggota TNI AL pelaku penembakan yang mengakibatkan tewasnya bos rental mobil tersebut.
Penyalahgunaan senjata api oleh oknum anggota TNI yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa bukan kali ini saja. Dalam catatan Imparsial, sepanjang tahun 2024 telah terjadi setidaknya 8 peristiwa penyalahgunaan senjata api yang dilakukan oleh oknum anggota TNI.
Baca Juga
"Penyalahgunaan senjata api ini mengakibatkan 7 orang warga sipil tewas dan 10 orang terluka. Selain itu, Imparsial juga mencatat terdapat 27 kasus kekerasan yang dilakukan oleh oknum anggota TNI terhadap warga sipil sepanjang tahun 2024 kemarin, dengan korban sebanyak 48 orang di mana 12 diantaranya meninggal dunia," tuturnya.
Bentuk kekerasan yang dilakukan diantaranya adalah pemukulan atau penganiayaan sebanyak 18 kasus, penembakan sebanyak 8 kasus, dan satu kasus adalah KDRT.
Sehingga, kasus penembakan di KM. 45 Tangerang-Merak ini menambah daftar panjang bagaimana sistem peradilan militer sebenarnya tidak layak untuk memproses kejahatan pidana umum yang dilakukan oleh anggota TNI.
"Imparsial selalu menyarankan agar prajurit TNI yang terlibat dalam tindak pidana umum harus diproses melalui sistem peradilan umum," ujarnya.
Hal ini merupakan amanat dari UU TNI sendiri yang termuat dalam Pasal 65 ayat (2)) dan juga TAP MPR No. VII tahun 2000 tentang peran Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai aparat pertahanan dan keamanan negara.
"Meski sudah lebih dari 20 tahun lalu dimandatkan oleh UU TNI dan TAP MPR RI, namun hingga saat ini Pemerintah dan DPR RI enggan untuk melakukan revisi terhadap UU No. 31 tahun 1997 tentang peradilan militer," tandasnya.