fin.co.id – Pemerintah Indonesia, melalui Kamar Dagang dan Industri (Kadin), mengusulkan perubahan signifikan dalam perhitungan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 dengan menjadikan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sebagai faktor utama.
Rencana ini mencuat setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengembalikan peran KHL dalam penetapan UMP, sebagai dampak dari pengujian Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker).
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia, Sarman Simanjorang, menjelaskan bahwa KHL akan menjadi elemen penting dalam menentukan UMP, mengingat KHL mencakup berbagai kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan transportasi.
Sarman menekankan pentingnya prinsip proporsionalitas antara kepentingan perusahaan dan kebutuhan buruh, serta pemenuhan standar hidup layak yang dapat memastikan kesejahteraan pekerja di seluruh Indonesia.
Baca Juga
- IATPI dan Politeknik PU Tandatangani Perjanjian Kerjasama untuk Pengembangan SDM dan Kelembagaan
- Awal 2025, Pekerja Masih Dihantui Gelombang PHK
Namun, meskipun penggunaan KHL sebagai basis penetapan UMP mendapat dukungan, sejumlah ekonom memberikan catatan kritis terkait dengan efektivitas kebijakan ini jika hanya mengandalkan KHL tanpa mempertimbangkan faktor-faktor lain.
KHL Harus Dipadukan dengan Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi
Achmad Nur Hidayat, Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional ‘Veteran’ Jakarta, menyampaikan pandangan yang lebih komprehensif terkait penetapan UMP yang bergantung sepenuhnya pada KHL.
Achmad mengingatkan bahwa meskipun KHL penting untuk mencerminkan standar hidup yang layak, kebijakan tersebut harus dilengkapi dengan variabel lain yang lebih dinamis, seperti inflasi dan pertumbuhan ekonomi, untuk menciptakan keadilan ekonomi yang optimal.
"Penetapan UMP hanya berdasarkan KHL tidak akan cukup untuk menciptakan keadilan ekonomi. Faktor inflasi dan pertumbuhan ekonomi juga perlu diperhitungkan untuk memastikan bahwa UMP mencerminkan kebutuhan nyata pekerja sekaligus menjaga daya beli mereka, terutama setelah dampak pandemi Covid-19," ungkap Achmad di Jakarta, dilansir Disway, Selasa, 26 November 2024.
Menurut Achmad, inflasi merupakan indikator penting yang menunjukkan naiknya biaya hidup akibat kenaikan harga barang dan jasa. Tanpa penyesuaian upah yang memperhitungkan inflasi, daya beli masyarakat, khususnya pekerja kelas bawah dan menengah, akan tergerus, yang pada akhirnya mengurangi kualitas hidup mereka.
Baca Juga
- Buka Akses Keuangan ke Masyarakat, Direktur Utama BRI Sunarso Mendapatkan Penghargaan “Impact on Financial Industry Leadership”
- BRI Apresiasi Keberhasilan Pegadaian Mendapat Izin Usaha Bullion, Optimistis Holding Ultra Mikro Dapat Mengakselerasi Inklusi Keuangan
Oleh karena itu, inflasi harus menjadi bagian dari formula perhitungan UMP agar pekerja tetap dapat memenuhi kebutuhan pokok mereka meski harga-harga meningkat.
Selain itu, Achmad juga menyoroti peran pertumbuhan ekonomi dalam menentukan UMP. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi yang positif harus memberikan manfaat langsung bagi pekerja, yang merupakan pilar penting perekonomian.
"Memasukkan variabel pertumbuhan ekonomi dalam formula UMP akan menciptakan hubungan yang lebih adil antara kontribusi pekerja terhadap perekonomian dan kompensasi yang mereka terima," ujar Achmad.
Menciptakan Keseimbangan
Kritik terhadap penetapan UMP hanya berdasar KHL juga berfokus pada potensi ketimpangan antara kesejahteraan pekerja dan daya saing perusahaan.
Jika UMP terlalu tinggi tanpa memperhitungkan kemampuan sektor usaha, terutama UMKM, untuk memenuhi standar upah yang baru, maka bisa terjadi dampak negatif terhadap penciptaan lapangan kerja dan produktivitas sektor tersebut.
Namun, Achmad menekankan bahwa dengan memperhitungkan variabel inflasi, KHL, dan pertumbuhan ekonomi dalam formula perhitungan UMP, pemerintah dapat menciptakan keseimbangan yang lebih baik.