Ide Terakhir

fin.co.id - 22/07/2024, 06:06 WIB

Ide Terakhir

Ilustrasi meningkatnya polusi udara di Jakarta.--

Perlu ada yang melakukan penelitian atas fenomena ini, untuk merumuskan strategi ke depan yang terbaik..

Mirza Mirwan

Dasar manusia berhati iblis, "mbeguguk makutha waton", itulah Benjamin Netanyahu (Bibi). Sudah berbulan-bulan tiap Sabtu petang diprotes puluhan ribu orang dengan tuntutan mengakhiri perang agar sandera bisa dibebaskan, Bibi tak bergeming dari tekadnya untuk meluluh-lantakkan Gaza hingga Hamas tumpas.

Protes yang awalnya hanya diikuti keluarga sandera, juga sandera yang dibebaskan saat gencatan senjata November tahun lalu, menarik simpati warga Israel yang ingin hidup damai. Mereka ikut protes. Pernah jumlahnya mencapai sekitar 60-70 ribu orang saat mereka memblokir Ayalon Hinhway, Tel Aviv.

Rabu lusa Bibi akan bicara di depan Kongres AS. Protes Sabtu petang kemarin menuntut Bibi bikin kesepakatan soal pembebasan sandera sebelum pergi ke AS. Kalau tidak, jangan pergi. "Kongres bisa menunggu, tetapi para sandera tidak," kata Yair Lapid, mantan PM yang kini memimpin oposisi. Tadi malam itu Lapid ikut orasi di Jalan Kaplan Tel Aviv.

"Hanya mengakhiri perang yang akan membawa para sandera pulang," kata Mai Alvini-Peri, cucu Haim Peri yang masih disandera Hamas. "Tetapi mengakhiri perang juga membawa pemerintahan Bibi berakhir. Jadi kalian dapat mengerti kenapa perang terus berlanjut, dan mengapa tak ada kesepakatan pembebasan sandera."

Mati Danzig, anak dari Alex Danzig (75) yang masih disandera Hamas mengancam akan mengajak keluarga sandera lain ke Washington DC dan mendeklarasikan bahwa Bibi adalah penghalang kesepakatan pembebasan sandera.

Amat K.

Aih. Topik yang seksi ini menggoda saya menulis komentar lagi.

Jadi, di tempat saya tinggal, lingkup kabupaten atau provinsi, tren fenomena orang tua memilih menyekolahkan anak di sekolah Islam swasta/pesantren meningkat kian tahun. Sepertinya di sebagian daerah lain pun demikian. Sekolah negeri kekurangan siswa baru. Ini perlu ditanggapi serius. Perlu evaluasi. Ada apa? Memang, ada banyak variabel lain terkait ihwal ini. Mungkin salah satunya Aat c.s. yang sulit dapat jodoh lalu berimplikasi pada krisis populasi. Ada lagi salah duanya, banyak yang menunda pernikahan, meski sebagian kecil tetap berkimpoi. Angka kelahiran pun menurun.

Jadi, sekolah swasta dari segi biaya jelas berlebih dibanding sekolah negeri. Dari awal masuk sudah bayar biaya bla bla bla. Biaya bulanan sekian. Lalu, mengapa banyak ortu memilih bayar berlebih? Sebab sekolah swasta memberi feedback berlebih juga, yang tidak dapat diberikan sekolah negeri. Kebetulan ketiga anak saya sekolah swasta. Dari PAUD hingga Madrasah plus pondok pesantren.

Bagi saya, biaya & jarak tidak menjadi masalah. Kami rela merogoh kocek dalam. Antar jemput. Dari rumah menuju sekolah, beberapa sekolah negeri terlewati.

Berdasar pengamatan saya, pendidikan karakter yang sudah digaungkan kementerian pendidikan sekian tahun, hasilnya begitu-begitu saja.

Apa kabarnya jua revolusi mental?

Sigit Nugroho
Penulis