Ekonomi

Kebijakan Suku Bunga Amerika Jadi Tantangan Terbesar Bagi Indonesia

fin.co.id - 26/06/2024, 11:10 WIB

Ilustrasi grafik perekonomian dunia (pexels-tima-miroshnichenko)

fin.co.id - Kebijakan suku bunga Amerika menjadi tantangan terbesar bagi perekonomian Indonesia saat ini.

Kebijakan higher for longer policy rate di Amerika Serikat akan sangat mempengaruhi kebijakan Bank Indonesia, yang pada ujungnya berpengaruh terhadap situasi perekonomian RI.

Ekonom Senior PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Rully Arya Wisnubroto mengatakan, kebijakan higher for longer policy rate di Amerika Serikat ini telah menyebabkan ruang pelonggaran moneter oleh Bank Indonesia semakin kecil.

Di sisi lain, pemerintah juga mengalami tren penurunan penerimaan karena tidak adanya windfall dari harga-harga komoditas yang saat ini sedang melandai.

Baca Juga

"Penurunan penerimaan pemerintah menyebabkan ruang untuk melakukan kebijakan fiskal yang akomodatif juga relatif kecil," kata Rully, Rabu 26 Juni 2024 di Jakarta.

Untuk arah kebijakan fiskal tahun 2025, saat ini sedang dalam pembahasan antara Pemerintah dan DPR, yang disebut dengan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal. Kerangka kebijakan fiskal 2025 merupakan hal yang sangat strategis di tengah masa transisi pemerintahan.

"Pemerintah akan tetap melanjutkan program-program yang sudah dijalankan dan sekaligus memfasilitasi program-program pada pemerintahan berikutnya, sehingga transisi dilakukan tanpa menimbulkan gejolak ekonomi dan juga gejolak pasar," kata Rully.

Terakhir, yang paling menjadi perhatian banyak pihak saat ini adalah program prioritas makanan bergizi gratis (MBG), akan dilaksanakan secara bertahap, Dimana untuk tahun pertama 2025 akan dimulai dengan alokasi sekitar Rp71 triliun dalam RAPBN 2025.

"Anggaran untuk Makan Bergizi Gratis (MBG) masuk ke dalam rentang target defisit fiskal yang disepakati, yaitu 2,3%-2,8 persen, dan masih berada di bawah di bawah 3 persen," jelas Rully.

Baca Juga

Defisit fiskal, sampai dengan Januari - Mei 2024 tercatat sebesar Rp21,8triliun, atau -0,1 persen terhadap PDB. Jumlah ini menurun dari Januari - Mei 2023 yang memiliki surplus Rp204,1 triliun, atau 0,97 persen terhadap PDB.

"Defisit fiskal Indonesia tahun ini terjadi lebih cepat dibandingkan dengan di tahun 2022 dan 2023," tambah Rully.

Sebagai informasi, di tahun 2022 dan 2023, APBN baru mengalami defisit pada bulan Oktober. Defisit yang lebih cepat datang di tahun ini, disebabkan oleh penurunan penerimaan negara.

Pendapatan negara mengalami kontraksi 7,1 persen YoY per 5M2024 menjadi Rp1.123,5 triliun, lebih rendah dari Rp1.209,0 triliun, atau 49,1 persen dari pagu full year 2023.

Sementara itu untuk pengeluaran, terjadi peningkatan sebesar 14 persen YoY menjadi Rp1.145,3 triliun pada 5M2024, atau 34,4 persen dari estimasi full year 2024 budget, membengkak dibandingkan Rp1.005,0 triliun atau 32,8 persen dari full year 2023.(*)

Sigit Nugroho
Penulis
-->