Kemudian pada 2018, dibentuk-lah beberapa badan usaha CV fiktif sebagai vendor yang akan menerima berbagai transaksi pembayaran dari kegiatan proyek PT Amarta Karya dan hal ini sepenuhnya atas sepengetahuan tersangka CP dan TS.
Untuk pengajuan anggaran pembayaran vendor, tersangka CP selalu memberikan disposisi "lanjutkan" dibarengi dengan persetujuan Surat Perintah Membayar (SPM) yang ditandatangani tersangka TS.
Buku rekening bank, kartu ATM dan bongol cek dari badan usaha CV fiktif itu dipegang oleh staf bagian akuntansi PT Amarta Karya yang menjadi orang kepercayaan dari CP dan TS untuk memudahkan pengambilan dan pencairan uang sesuai dengan permintaan tersangka CP.
"Uang yang diterima tersangka CP dan TS kemudian diduga antara lain digunakan untuk membayar tagihan kartu kredit, pembelian emas, perjalanan pribadi ke luar negeri, pembayaran member golf dan juga pemberian ke beberapa pihak terkait lainnya," kata Alex.
BACA JUGA:
- Kadiv Keuangan PT Amarta Karya Dipanggil KPK dalam Kasus Dugaan Korupsi
- Penyidikan Kasus Baru, KPK Usut Dugaan Proyek Fiktif di PT Amarta Karya
Atas perbuatannya kedua tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
"Perbuatan kedua tersangka tersebut diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara sekitar Rp46 miliar," ujar Alex.